Foto Saya

Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

KEARIFAN LOKAL PEREMPUAN BUGIS

Pada akhir abad ke 18 di belahan bumi barat, tepatnya di Inggris, muncul sebuah gerakan politik diprakarsa oleh seorang perempuan. Ia menyebut kelompoknya dengan women’s movement (gerakan perempuan). Ia mengalami gejolak dalam dirinya karena adanya partisipasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam politik. Perempuan dianggap sebagai sosok inferior, dianggap tidak punya rasionalitas seperti laki-laki.

Untuk itu, ia menilai, penggulingan monarki absolut semestinya akan menjadi momentum bagi perempuan untuk bergerak. “Telah tiba waktunya untuk mempengaruhi sebuah revolusi melalui cara perempuan, telah tiba saatnya untuk memulihkan kewibawaan perempuan yang telah hilang. “tulis Mary Wollstonecraft, lewat bukunya ‘A Vindication of the Rights of Woman. Gerakan ini nanti disebut Feminisme.

Berselang satu abad kemudian (abad ke 19), di belahan bumi timur, tepatnya di ’Pancana Toa’ salah satu kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan, seorang perempuan dinobatkan sebagai Arung (pemimpin). Ia adalah Colliq Pujie. Nama lengkapnya Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa. Ia juga menulis sebuah naskah (buku) dengan judul “Lontaraq Tanete. Selain itu ia juga berperan dalam mengumpulkan catatan kuno, yang dikenal dengan La Galigo, ‘sastra kuno terpanjang di dunia.

Berbeda dengan Mary, Colliq Pujie malah memperkuat integritas monarki absolut untuk melawan imperialisme, yakni penjajahan yang dilakukan oleh kolenial Belanda. Statusnya sebagai perempuan, tidak menjadi penghalang bagi dirinya berdiri digaris terdepan, untuk melakukan perlawanan militer terhadap penjajah.

Sosok Colliq Pujie memberikan gambaran bahwa kebudayaan Bugis tidak mendiskriminasikan perempuan dalam politik kepemimpinan. Perempuan Bugis juga memiliki sisi superior layaknya laki-laki. “Lalu pantaskah ini disebut Feminisme ? Colliq Pujie hanya salah satu dari sekian banyak tokoh perempuan Bugis. Perlu juga diketahui bahwa beberapa kerajaan Bugis memiliki pemimpin pertama (to manurung) mereka adalah sosok perempuan, sebuat saja kerajaan Bugis Suppa di Pinrang.

Dalam sejarah mencatat bahwa perempuan bugis dapat mengambil peran ganda sekaligus. Baik dilingkungan keluarga maupun dalam dunia publik. Perempuan sebagai pendamping suami, perempuan sebagai penggerak sosial kemasyarakatan, dan sebagai pendidik anak, generasi muda yang kelak menjadi penerus mereka. Semua itu ada pada sosok Colliq Pujie Arung Pancana Toa, seorang  istri, ibu, dan Ratu (pemimpin) sekaligus intelektual perempuan dizamannya, sebagaimana disebutkan dalam petuah Bugis. 

“We’dittoi situnreng pung ade’e jemma te’be’e makka’i mancaji dulung papole enrengnge asalewangeng.

(Perempuan juga berhak untuk dipilih seluruh rakyat untuk menjadi pemimpin mereka di jalan kemakmuran dan keselamatan)

Mancaji pattaro tettong rilempu’e punnai cirinna engrenge lampe ‘Nawa-nawa mewai sibaliperri waroanena sappa laleng atuong.

(Menjadi penuntun yang jujur, hemat bijaksana sekaligus mitra pendukung dan penopang dalam mengatasi kesulitan maupun perjuangan dalam mengatasi segala hal)

Kembali ke abad sekarang (abad 21). Seorang kawan pernah bercerita. Dikampungnya Dusun Moti Kabupaten Bantaeng. Dibidang pertanian, jika waktu tanam tiba, perempuan mempunyai peran menanam padi di sawah, setelah sawah itu dibajak oleh laki-laki. Budaya itu sudah turun temurun diwariskan oleh leluhurnya, “tutur kawan. Ini salah satu bukti penerapan kesetaraan gender dalam mengelolah pertanian dan tidak ada pembatasan untuk mengambil peran. Bisakah ini disebut Emansipasi ?

Selain itu, terdapat juga filosofis Bugis yang memberikan penghormatan kepada kaum perempuan untuk kerja-kerja berat, yakni ‘’Makkunrai majjujung, uroane mallempa (Perempuan menjunjung, laki-laki memikul). Maksudnya perempuan hanya membawa satu bawaan (beban), istilahnya majjujung, yakni membawa satu barang dengan menyimpannya di atas kepala.

Sedangkan laki-laki membawa dua barang dengan menggantungkannya pada dua ujung tongkat (pikulan) yang ditaruh di atas bahu. Filosofinya adalah perempuan membawa hanya satu dan laki-laki dua. Beda lagi pada pernikahan, sebaliknya laki-laki memberikan dua dan perempuan hanya meberikan satu agar tidak membebani perempuan secara finansial. Begitulah budaya bugis dalam memberikan keistimewahan terhadap perempuan.

Cuman sangat disayangkan pendidikan formal kita, terlalu berkiblat pada teori barat tentang diskursus Feminisme, Gender, Emansipasi, dan gerakan perempuan lainnya. Apakah mereka tidak mengetahui perempuan Bugis, Colliq Pujie tidak kalah tangguhnya jika disandingkan dengan Mary Wollstonecraft?

Diakhir tulisan ini saya ingin mengutip petuah Bugis, tentang peran perempuan bugis sebagai Istri dan Ibu?

 mancaji Indo Ana Tettong ridecengnge tudang ripacingnge” Terjemahan : Menjadi seorang Ibu yang berada pada kebaikan dan kebersihan (sholeh dan suci)

Sementara pesan untuk perempuan yang sudah menikah (berstatus sebagai Istri).

mancaji siatutuiang siri na enrengnge napabbatina ritomatoanna, riselessureng macoana lettu ri’orowanena. Terjemahan : Menjaga kehormatan diri dan keluarga, menjadi kebanggaan orang tua beserta saudara dan suaminya.

Fatimah Ummul Banin Sagena
Foto hanya pemanis

Makassar, 12 Maret 2021

Nurfasirah Muh. Nur

(Aktifis Perempuan)

Halaman

Twitter

 
Support : http://sempugi.org/ | Your Link | Your Link
Copyright © 2014. Haeruddin Syams - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger