Foto Saya

Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

“Drama Raja Sawitto dan Raja Lembang Oleh Wija To Penrang KMP-PNUP“




Kain berwarna biru yang terikat dikepalanya beserta sarung yang dipinggangnya menjadikan ia terlihat perkasa, “Iyya’na okkoe bakkalolona Sawitto degage tau mulle jamaka” teriak “Kurniawan (pemeran raja Sawitto) sambil menunjuk ke arah depan dengan melangkahkan kakinya, “teriakan itu seolah menggemakan heningnya malam di desa ta’deang kabupaten Maros. “desiran angin yang dingin seolah tak terhiraukan oleh warga KMP yang asyik menonton, “Nampak tawa tipis mereka menyaksikan sang raja yang sangat percaya diri.
 
Tak lama berselang “Patando (pemeran raja Lembang) unjuk gigi “wha..haa.haa.. “ketawa kejam, menantang, sembari menujuk wajah raja Sawitto Apa mu’pau ngena !? joo’o ku’kilajako “Seru, “raja Lembang, menantang raja Sawitto untuk berduet. Kemudian  terjadi adu mulut di antara mereka yang berujung kepada pertarungan, “keduanya pun mencabut kris-nya untuk mengadu kehebatan satu sama lain.  Akhir dari drama “raja Sawitto memenangkan pertarungan dan mengajak raja Lembang untuk berdamai untuk bersama-sama membangun Pinrang kedepan.

Deskripsi singkat drama raja Sawitto dan raja Lembang setelah aku selesai menonton video-nya, “karya peserta kaderisasi “Pengenalan Organisasi Daerah Kerukunan Mahasiswa Pinrang Politeknik Negeri Ujung Pandang (PLOD 14 KMP-PNUP), silahkan nonton videonya yang ada di atas.

***

Rasa sesal masih terbayang dalam diri-ku karna tidak bisa melihat lansung drama itu, aku hanya menonton lewat video yang baru saja aku copy dari “Yudhi salah satu joniorku di KMP. Meskipun demikian aku merasa sangat bangga kepada mereka karna senantiasa menanamkan nilai-nilai kedaerahan sebagai "Wija To Penrang" dalam kegiatan kaderisasi. “saat aku selesai melihat video’nya, aku mendapat pembelajaran yang sangat bermanfaat “bahwa kita sebagai warga Pinrang harus meretas gesekan etnit yang sering terjadi, karna terkadang kita masyarakat Pinrang begitu tersekat oleh perbedaan itu sangat jelas terlihat jika di antara kita berbicara menggunakan bahasa masing-masing. 

Dari sini kemudian aku baru menyadari bahwa organisasi daerah merupakan wadah yang sangat ideal untuk menanamkan benih-benih kebudayaan lokal kepada generasi muda agar tidak tertelan oleh laju modernisasi yang berusaha menggeser kekayaan kearifan lokal yang kita miliki. Yaa, organda (organisasi daerah) adalah salah satu tameng untuk membentengi hegemoni budaya barat, korea, india, jepang, dan lainnya yang mereka kempanyekan lewat film-film yang tersebar sampai pelosok bumi melalui media elektronik. Sungguh ironis jika kita pemuda/i bangsa ini begitu membanggakan budaya luar sementara disisi lain budaya kita sendiri hampir terhapus oleh zaman.

Semoga pembelajaran “budaya” yang diajarkan kepada re-generasi KMP-PNUP bisa menjadi amunisi bagi mereka, agak kelak mereka menjadi volunteer untuk membangun kampung halaman tercinta seperti ikrar raja Sawitto dan raja Lembang pada akhir drama, mudah-mudahan ikrak itu bukan hanya lagiah belaka. 



Catatan : 
  • “Iyya’na okkoe bakkalolona Sawitto degage tau mulle jamaka” ( saya disini pemudanya Sawitto, tidak ada satupun orang yang bias mengalahkan saya) 
  • “Apa mu’pau ngena !? joo’o ku’kilajako (apa tadi yang kau katakana !? saya tidak takut)
  • Wija To Penrang (Keturunan orang pinrang)
  • Sawitto dan Lembang (Nama kerajaan di Pinrang)
Makassar, 8/Desember/2014

“Wahh! Ada Batu “Meringkik” di Kota Pare-pare

Dari kiri, Saha, Cinta, 2 warga setempat, We Aje, HSM, Fahrul

AWALNYA, aku beranggapan mustahil  ada sebuah batu yang bisa meringkik (mengeluarkan suara seperti kuda), Hah!? “mana bisa batu mengeluarkan suara seperti itu apa lagi suara yang dikeluarkan meringkik, paling hanya mitos belaka, “candaku, kepada seorang kawan yang lagi duduk di sampingku, Saha. “Ia melanjutkan ceritanya tentang batu tersebut dan berusaha meyakinkan-ku dengan wajah yang amat serius.

Entah kenapa sajian cerita panjang Saha, membuatku penasaran, “Ayo deh kita sana untuk melihat batu itu! ajakku….. Saha, “menganggukkan kepala,  meng-iya-kan ajakanku. Kami pun berangkat ke lokasi setelah menunggu, hingga sore hari. “aku juga ditemani oleh Ka Cinta, karna Ia sudah janji kepadaku untuk menelusuri kebenaran misteri batu meringkik itu saat aku menelponya sebelum aku datang ke Pare-pare.

*****

Tepat di depan papan nama yang hampir rebah, bertuliskan “Objek Wisata Bacukiki”, kami berhenti, “terlihat dibelakangnya sebuah batu besar berwarna hitam penuh semak disekelilingnya, nampaknya situs sejarah itu tidak terawat dengan baik. Ka Cinta menyalakan motor sambil berkata, “tunggu sebentar aku pergi mencari seseorang yang bisa kita jadikan informan tentang batu itu. “Aku dan Saha senyum, iyya “jawabku. Kami pun pergi mengambil gambar batu itu, “sambil menunggu…

Saat sedang menunggu, “kring..kring, HP-ku berbunyi, “halo kenapaki sappo (kawan), “tanya-ku ditelpon? “aku menuju kesana, “jawab kawanku, Fahrul. “Tak lama Ka Cinta pun datang hampir bersamaan dengan kedatangan Fahrul setelah setengah jam yang lalu aku bicara dengannya di HP. “kemudian kami pergi menjemput seseorang, “namanya We Ajare Mallo, “seru, ka Cinta.”aku tadi diarahkan kesana oleh Sudirman, “warga setempat yang sudah ia tanyai. katanya “jika ingin mengetahui sejarah batu itu silahkan tanya lansung kepada “We Ajara Mallo karna ia satu-satunya orang yang mengetahui sejarah batu itu di kampung ini.

KAMI, “Saha, ka Cinta, Fahrul, dan We Aje telah berkumpul pas di depan halaman batu. “hanya bermodalkan satu pertanyaan untuk membuat We Aje menjelaskan panjang lebar sejarah batu yang meringkik itu, “Pa, kanapa batu itu dinamakan Batu kikik ? “tanyaku kepada We Aje. “Dahulu, sebelum kerajaan batu kikik dijajah oleh belanda, batu ini merupakan simbol kebesaran dan eksistensi-nya, karna batu ini bisa mengeluarkan suara yang menjadi indikasi bahwa akan terjadi bencana di kampung ini, itulah sebabnya kenapa warga setempat sangat mensakralkannya. “jawab We Aje…

Entah kenapa batu itu bisa bersuara demikian, tapi kami mempercayai kebenarannya. “aku sendiri pernah mendengarkan suara kikik itu dan menyaksikan lansung bencana yang terjadi, setelah beberapa hari batu itu berbunyi. Namun sekarang orang lebih mengenalnya dengan nama bacukiki, “We Aje melanjutkan penjelasannya. Tapi “Batu kikik” adalah nama sebenarnya, “ceritanya berawal ketika warga bulu roangnge (gunung luas) hijrah ke tempat ini, saat mereka mendengarkan batu itu meringkik, dari situ-lah mereka menyebutnya dengan nama batu kikik (batu yang mengeluarkan suara “kikik” seperti kuda).

Seiring berjalannya waktu warga yang datang dari bulu roangnge pun menetap di sekitaran batu itu dan membentuk sistem sosial yaitu sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang Arung, tepatnya Arung Batukikik. Entah itu hanya kebetulan, “Saat batu itu berbunyi tak lama berselang akan terjadi sebuah bencana, bunyi “kikik batu itu menjadi indikasi bahwa akan akan terjadi satu bencana, “yang pertama  apakah itu Arung batukikik akan meninggal, kedua “berupa penyakit kolera “semacam penyakit menular yang akan menjangkit semua masyarakat. ketiga “akan terjadi kebakaran besar di kampung ini. Wah!? “aku terhenyak mendengarkannya, sepertinya kami terlarut dalam cerita We Aje.

Kira-kira besar batu itu seperti mobil xenia, warnanya hitam pekat dan  ber-bintik-bintik putih. Terdapat dua batu disana, yang satunya agak lebih besar, di antara kedua batu terdapat celah semacam ruang kosong kecil karna kedua batu itu tidak berimpitan. Kemungkinan ketika angin kencang berhembus dan melawati celah itu, hingga bisa mengahasilkan suara me-ringkik. “potong Fahrul saat We Aje lagi terdiam sembari menunjuk ruang kosong diantara kedua batu. Yaa, bisa saja penjelasan fahrul benar meskipun kepercayaan We Aje bahwa suara kikik itu terjadi secara mistik, bisik-ku dalam hati. Entahlahh……


Betemu Seorang Budayawan di Desa Alitta

Dari kiri, Jihad, HSM, Chindang, Rafi
KALI, ini aku mencoba untuk mempelajari budaya dengan datang lansung untuk berdiskusi dengan seorang budayawan. Tak jauh dari ibu kota kabupaten Pinrang Sekitar duapuluh km arah selatan tepatnya di desa Alitta aku pernah berkunjung di sana untuk bertemu dengan seorang Budayawan namanya Daeng Chindang (Daeng = panggilan orang yang lebih tua dari kita). Aku kesana guna melakukan pendataan objek wisata alam/budaya/sejarah, seniman, lagu tradisional no name, petuah bijak bugis dan budayawan. Kegiatan ini merupakan program Sempugi yang bekerja sama dengan cipta media celuler untuk memproduksi Walppaper Objek wisata lokal dan ring tone lagu tradisional.

Di desa Alitta terdapat banyak situs sejarah/budaya, tapi hanya dua yang bisa aku akses, yakni Sumur Manurung Lapakkita dan Bujung Pitue. Keduanya sudah dikelolah oleh pemerintah setempat. Namun situs lainnya seperti makam para Arung (pemimpin) Alitta tidak terawat sampai tidak bisa teridentifikasi berhubung Alitta dulunya adalah sebuah kerajaan jadi disana terdapat banyak makam raja. Nama Alitta sendiri berasal dari kata Aditta (Adek kita) karna Alitta dulunya bagian dari konfederasi lima kerajaan Ajatappareng yaitu Sawitto, Sidenreng, Rappang, Suppa dan Alitta yang paling bungsu jadi di beri nama Aditta. Tapi Aku belum mendapatkan penjelasan kenapa bisa terjadi perubahan kata dari Aditta menjadi Alitta. Mungkin saja karna persoalan okkots ! hhhe

Situs lainnya berupa mesjid tua, tapi sayang kini bangunannya sudah roboh. Di lokasi aku hanya menemukan batu reruntuhannya. Aku coba menulusuri penyebabnya! Namun kata daeng Chindang “dek mesjid itu sengaja diruntuhkan karna dipindahakan ketempat lain” sempat sih kami pergi memcari imam mesjid guna menelusuri lebih jauh tentang mesjid tersebut akan tetapi ia tidak ada di rumah. jadi hanya sebatas itu informasi yang aku dapatkan. “Aku tiba-tiba teringat cerita salah seorang teman katanya “bukti-bukti penyebaran islam yang ada di jazirah Sulawesi selatan sangat susah untuk ditelusuri alasannya, "ada kesengajaan yang dibuat oleh oknum tertentu untuk menghilangkannya. ‘Yahh, mungkin saja mesjid tua di Alitta juga demikian. “Entahlah…

*****

Sehari aku di Alitta, aku banyak disapa oleh masyarakat Alitta yang baru pertama kali aku temui meskipun hanya senyuman tapi begiulah mereka menyambut orang baru, warga disana sungguh sangat ramah. Budaya lokal inilah yang hilang di wilayah perkotaan tanah bugis, mereka sangat sibuk untuk memperkaya diri sendiri sampai tetangganya sendiri pun meraka terkadang tidak mengenalnya. Di mall perkotaan aku sering melihat senyum orang-orang yang telah diperjakan oleh para kapitalis, mereka menyapa pelanggangnya dengan senyuman hanya karna tuntutan profesi sangat berbeda dengan senyum yang aku lihat di desa Alitta. Menurutku jika kita ingin mengetahui lebih jauh tentang kebudayaan suatu etnis maka kita harus turun lansung untuk mempelajarinya dan menjadi bagian dari kebudayaan itu.

Entah kenapa pemberitaan tentang “kebudayaan” selalu saja diidentikkan dengan tari dan musik. Seolah-olah budaya hanya bisa dipelajari melalui kedua instrument tersebut. Media menggambarkan "budaya" hanya  sebatas musik dan tari untuk kepentingan komoditi mereka.

Namun berbeda dengan pembelajaran “kebudayaan” yang aku dapatkan selama di Alitta bersama daeng Chindang. Kebudayaan yang belum pernah aku lihat di eksplorasi oleh media. Kebudayaan yang tidak sesempit ber-seni dan ber-musik. Akan tetapi “Budaya” tentang keramahan masyarakat bugis bertutur, “budaya” bagaimana mereka sangat mendahulukan ahklak ketika berkumunikasi, “budaya” tentang pesse (kebersamaan) bagaimana mereka begitu peka dengan penderitaan orang lain. “budaya” bagaimana mereka sangat menghormati sesamanya, “Budaya” bagaimana mereka akan senantiasa mengingatkan satu sama lain dalam bahasa bugis disebut Sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge’

Ehmm, Apa pendapat kalian tentang "budaya"?

Halaman

Twitter

 
Support : http://sempugi.org/ | Your Link | Your Link
Copyright © 2014. Haeruddin Syams - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger