![]() |
Dari kiri, Jihad, HSM, Chindang, Rafi |
KALI, ini aku
mencoba untuk mempelajari budaya dengan datang lansung untuk berdiskusi
dengan seorang budayawan. Tak jauh dari ibu kota kabupaten Pinrang
Sekitar duapuluh km arah selatan tepatnya di desa Alitta aku pernah
berkunjung di sana untuk bertemu dengan seorang Budayawan namanya Daeng
Chindang (Daeng = panggilan orang yang lebih tua dari kita). Aku kesana
guna melakukan pendataan objek wisata alam/budaya/sejarah, seniman, lagu
tradisional no name, petuah bijak bugis dan budayawan.
Kegiatan ini merupakan program Sempugi yang bekerja sama dengan cipta
media celuler untuk memproduksi Walppaper Objek wisata lokal dan ring tone lagu tradisional.
Di
desa Alitta terdapat banyak situs sejarah/budaya, tapi hanya dua yang
bisa aku akses, yakni Sumur Manurung Lapakkita dan Bujung Pitue.
Keduanya sudah dikelolah oleh pemerintah setempat. Namun situs lainnya
seperti makam para Arung (pemimpin) Alitta tidak terawat sampai
tidak bisa teridentifikasi berhubung Alitta dulunya adalah sebuah
kerajaan jadi disana terdapat banyak makam raja. Nama Alitta sendiri berasal dari kata Aditta (Adek kita) karna Alitta dulunya bagian dari konfederasi lima kerajaan Ajatappareng yaitu Sawitto, Sidenreng, Rappang, Suppa dan Alitta yang paling bungsu jadi di beri nama Aditta. Tapi Aku belum mendapatkan penjelasan kenapa bisa terjadi perubahan kata dari Aditta menjadi Alitta. Mungkin saja karna persoalan okkots ! hhhe
Situs
lainnya berupa mesjid tua, tapi sayang kini bangunannya sudah roboh. Di
lokasi aku hanya menemukan batu reruntuhannya. Aku coba menulusuri
penyebabnya! Namun kata daeng Chindang “dek mesjid itu sengaja diruntuhkan karna dipindahakan
ketempat lain” sempat sih kami pergi memcari imam mesjid guna menelusuri lebih jauh tentang mesjid tersebut akan tetapi ia tidak ada di rumah. jadi hanya sebatas itu informasi yang aku dapatkan. “Aku
tiba-tiba teringat cerita salah seorang teman katanya “bukti-bukti penyebaran
islam yang ada di jazirah Sulawesi selatan sangat susah untuk ditelusuri alasannya, "ada kesengajaan yang dibuat oleh oknum tertentu untuk
menghilangkannya. ‘Yahh, mungkin saja mesjid tua di Alitta juga demikian.
“Entahlah…
*****
Sehari
aku di Alitta, aku banyak disapa oleh masyarakat Alitta yang baru
pertama kali aku temui meskipun hanya senyuman tapi begiulah mereka
menyambut orang baru, warga disana sungguh sangat ramah. Budaya lokal
inilah yang hilang di wilayah perkotaan tanah bugis, mereka sangat sibuk
untuk memperkaya diri sendiri sampai tetangganya sendiri pun meraka
terkadang tidak mengenalnya. Di mall perkotaan aku sering melihat senyum
orang-orang yang telah diperjakan oleh para kapitalis, mereka menyapa
pelanggangnya dengan senyuman hanya karna tuntutan profesi sangat
berbeda dengan senyum yang aku lihat di desa Alitta. Menurutku jika kita ingin mengetahui lebih jauh tentang kebudayaan suatu etnis maka kita harus turun lansung untuk mempelajarinya dan menjadi bagian dari kebudayaan itu.
Entah kenapa pemberitaan tentang “kebudayaan” selalu saja
diidentikkan dengan tari dan musik. Seolah-olah budaya hanya bisa
dipelajari melalui kedua instrument tersebut. Media menggambarkan "budaya" hanya sebatas musik dan tari untuk kepentingan komoditi mereka.
Namun
berbeda dengan pembelajaran “kebudayaan” yang aku dapatkan selama di
Alitta bersama daeng Chindang. Kebudayaan yang belum pernah aku lihat di
eksplorasi oleh media. Kebudayaan yang tidak sesempit ber-seni dan ber-musik.
Akan tetapi “Budaya” tentang keramahan masyarakat bugis bertutur,
“budaya” bagaimana mereka sangat mendahulukan ahklak ketika
berkumunikasi, “budaya” tentang pesse (kebersamaan) bagaimana
mereka begitu peka dengan penderitaan orang lain. “budaya” bagaimana
mereka sangat menghormati sesamanya, “Budaya” bagaimana mereka akan
senantiasa mengingatkan satu sama lain dalam bahasa bugis disebut Sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge’
Ehmm, Apa pendapat kalian tentang "budaya"?
Ehmm, Apa pendapat kalian tentang "budaya"?
0 komentar:
Posting Komentar