Foto Saya

Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Spirit Primordial Alunan Musik di Malam Hari Desa Alitta

Senyum ceria itu selalu ku-ingat saat bertemu dengannya, saat pertama kali aku datang kesini wajah itu lansung menyapaku dan tesimpan erat di memori ingatan'ku. Walaupun itu pertemuan pertama kami setelah sekian lama aku mengenalnya di sosial media lewat grup facebook Sempugi (Grup pemerhati Sejarah/Budaya Sul-Sel-Bar). Ia adalah Daeng Cindang sapaan akrabnya, ia merupakan penanggung jawab untuk menjaga dan merawat situs sejarah Sumur Munurung La Pakkita di desa Alitta kabupaten Pinrang.

Cerita rakyat Alitta yang terjaga secara turun tumurun bahwa sumur itu khusus dibuatkan untuk seorang bidadari yang pernah tinggal di Alitta Pada masa kepemimpinan Arung La Massora dan cikal bakal Arajang dari kerajaan pun dari sana, ketika Sang bidadari mallajang (menghilang) dan meninggalkan selendangnya di Alitta. Selendang itulah kemudian menjadi Arajang yang setiap satu kali dalam lima tahun di cera".

Ini merupakan kedua kalinya aku berkunjung di rumah Daeng Cindang, Aku tiba di Desa alitta sekitar jam tujuh malam bersama dengan Sureng Sempugi Bang Darsam dan Rafi. Kami di jamu sangat istimewah, baru beberapa menit kami duduk istirahat tiba-tiba lansung dipanggil makam malam. Wahh asyik, Daeng Cindang orangnya pengertian, sangat paham bahwa kami lapar setelah melewati perjalanan Makassar-Pinrang selama kurang lebih lima jam dan memang sih budaya masyarakat Bugis begitu.

Mereka selalu memberikan yang terbaik kepada orang yang datang bertamu kerumahnya, siapa pun itu. Walupun sekarang telah mengalami distorsi gara-gara perubahan sratafikasi sosial yang diakibatkan oleh jabatan struktural di pemerintahan, beberapa diantara meraka selalu ingin diperlakukan lebih saat datang ke desa-desa sebagai seorang pejabat pemerintah. Entah kenapa juga meanset masyarakat sekarang ini terkonstruk seperti itu.

Malam pertama kami diajak kerumah kepala desa tempat yang menjadi titik setrum pesta adat maccera Arajang. Kata daeng Cindang biasanya yang menjadi kepalah desa di Alitta, ia akan menjadi penanggung jawab acara adat dan harus bersedia rumahnya dijadikan sebagai tempat pesta berlansung sebelum inti dari mecceara arajang itu dialihkan ke rumah adat Alitta sekaligus menjadi tempat penyimpanan Arajang.

Panggung Musik
Alat Musik Ana' Beccing, Lea-leang, Kancing
Penabuh Gendang
Suara musik khas bugis yang pernah aku dengar waktu mengikuti perayaan yang sama di desa Umpungeng Kabupaten Soppeng kini kembali mengguma ditelingaku. Cuman konten acarnya saja yang berbeda. Tapi yang tetap sama adalah nadanya yang memberikan spirit tersendiri bagiku selaku orang bugis yang cinta dan bangga dengan karya lokal yaitu budaya bugis. Gerakan tangan mereka begitu lincah memainkan alat musik, tidak kalah hebat oleh musisi tren era modern.

Di dalam rumah Pa desa dibuat seperti panggung, terdapat pembatas bagi para pemusik jadi selain mereka harus berada di luar. Yahh meskipun tidak dipoles se-gramor panggung pentas yang biasanya ditampikan di tv, maklum ini bukan untuk kepentingan komersil akan tetapi lebih kepada nilai-nilai humanisasi dan untuk menjaga kelestarian adat.

Aktor lantunan irama terdiri dari sepuluh orang dan masing-masing dari mereka sangat fasih memainkannya laksamana seorang maestro. Karna alat musik yang digunakan beragam jadi perlu keahlian berbeda untuk menggunakannya walaupun ada satu dua pemusik yang lihai dengan semuanya. Alat musik tradisional yang dipakai adalah tiga gendang, dua lelea, dua kancing, dua ana' beccing dan satu buah gong.

Sepintas, nampak ada alat musik yang dimainkan lebih dari satu orang, Yah ada tiga penabuh gendang akan tetapi ritme pikulan gendang diatur berbeda dan walhasil lantunan musiknya pun membuat kami tidak bosan mendengarkannya. Sama halnya dengan band pop yang memiliki tiga gitaris dengan melodi berbeda yang bisa menghipnotis pemuda/i yang katanya mereka generasi anak gaul.

Warga setempat pun begitu menikmati alunan musik itu, terlihat tawa ceria yang terpancar dari wajah mereka karna larut dalam iramanya. Menurutku inilah nasionalisme yang sesungguhnya ketika semangat masyarakat berkobar karna bangga dengan adat dan budaya mereka. Aku tiba-tiba teringat demonstrasi yang pernah kulalui, dengan semangat nasionalis kami melakukan penolakan kebijakan pro asing.

Nanti belakangan ini aku berpikir, apa sih yang kami maksud dulu nasionalisme? Tohh negara ini terdiri dari ratusan suku/bangsa dimana mereka mengekspresikan nasionalismenya dengan caranya masing-masing. Yah tidak semua dari kita bisa cinta negara ini hanya dengan mencium bendera merah putih seperti beberapa tokoh nasional. Karna beberapa di antara mereka mengaktualkannya dengan cara menjaga adat dan kebudayaannya sehingga nasionalisme itu bisa membara. ehm, menurutku sihh itu harga mati! Bagaimana dengan anda?

Ada banyak hal yang berbeda dari musik tradisonal yang sering didendangkan dalam rangkaian pesta adat bugis dengan musik meanstreme pop/rok kontemporer. Salah satunya adalah internalsisasi spirit primordial yang bisa membakar semangat perjuangan anti budaya asing di selah-selah keberagaman republik ini.

Dengan itu kita bisa membangun integritas dibalik perbedaan kita dan menjunjung tinggi bhineka tunggal ika sebagai simbol pemersatu Indonesia. Seperti alunan musik di Desa Alitta malam itu yang bisa menumbuhkan benih nasionalisme bagi orang yang medengarkannya, yah begitulah yang kusaksikan hingga aku pulang ke rumah Daeng Cindang untuk beristirahat. Dan yang membuatku kagum saat aku terbangun, ku-lihat jam menunjukkan pukul lima subuh lewat beberapa menit, terdengar dari kejauhan suara musik itu mulai dimainkan kembali, sebagai pembuka untuk memulai acara puncak meccera Arajang Alitta yang diselenggakan pada hari Rabu 22/Mei/2014.

-HS'Masagenae

Kisah di Balik Maccera Arajang Kerajaan Alitta

Rombongan masyarakat adat dengan pakaian khas Bugis telah meniggalkan rumah kepala desa Alitta menuju tempat penyimpanan Arajang kerajaan Alitta. Sebelumnya mereka telah menjemput Sanro Wanua secara adat yang nantinya akan diarak keliling desa oleh empat orang dengan menggunakan walah suji bersama dengan warga yang diiringi irama musik tradisional. Yah, Sanro wanua-lah yang akan memimpin prosesi maccera Arajang di rumah adat dan di dalam halaman sumur Manurung Lapakkita. Tidak ingin ketinggalan, beberapa tamu yang begitu antusias turut berpartisipasi sembari mendokumentasikan moment yang amat penting itu. Salah satu dari mereka adalah komunitas LSM Sempugi dan saya tergabung dalamnya.

Rombongan Masyarakat Adat
Anggota Komunitas LSM Sempugi
Sanro Wanua
Acara adat ini kurang lebih sudah lima puluh dekade terselenggara secara turun temurun dikalangan masyarakat Alitta. Semenjak masa kepemimpinan Arung Alitta yang ke tiga La Massora yang memprakarsai lahirnya sebuah Arajang kerajaan. Dan dilakukan kegiatan Maccera satu kali dalam lima tahun hingga sekarang. Kali ini dana yang digunakan berasal dari swadaya warga Alitta berupa uang ataupun beras yang sudah ditetapkan nominalnya dan beberapa donatur yang masih menjujung tinggi adatnya dengan memberikan bantuan agar kegiatan tersebut bisa terselenggara.

****

Alitta merupakan salah satu dari lima kerajaan konfederasi Ajatappareng yang dulunya membentuk sebuah kekuatan untuk membentengi kekuatan militer Goa. Tapi saya tidak akan membahas terlalu jauh tentang itu tapi lebih kepada era La Massora. Menurut informasi dari daeng Cindang, Arajang Alitta berupa pakaian/selendang seorang bidadari yang pernah menjadi istri Arung Alitta ke tiga. Dalam lontara Alitta pun mendeskripsikan kisah mereka dan begitu juga tutur yang dipecayai oleh warga setempat.

Seperti biasa senyum tipis Daeng Cindang senantiasa ia pancarkan saat lagi bercerita, saya duduk santai didepannya bersama dengan sureng Sempugi sambil menyimak secara seksama ia menjelaskan kisah di balik Arajang Alitta. Adapun ceritanya sepeti berikut ; Setiap malam jum'at La Bolong-anjing peliharaan La Massora tidak pernah pulang kerumah nanti ketika malam sabtu anjing itu baru kembali, anehnya La Bolong selalu pulang dengan aroma harum dan itu sudah berlansung selama beberapa pekan sehingga membuat ia penasaran. Hal itu pun ia sampaikan kepada para penjaga dan masyarakat Alitta hingga cerita itu menyebar.

Di tempat yang lain tepatnya hutan di gunung yang masih wilayah Alitta, Lato-lato'e pangonrang manu kale'na La Massora (penjaga ayam hutan La Massora) mendengar suara anaddara (perempuan) beserta percikan air dan gongngongan anjing. Rasa penasaran pun menggerakkan ia melangkahkan kaki untuk mencarinya. Saat ia menemukan asal suara itu ia melihat tujuh perempuan "dalam lontara Alitta dituliskan anak bidadari" sedang mandi dan bermain air dengan La Bolong, Tempat itu dinamakan Bujung Pitue "tujuh buah sumur kecil kira-kira besar mulut sumur seperti piring makan. Dengan wajah kaget ia bersegera pergi untuk mencari La Massora guna menyampaikan peristiwa tersebut.

Di siang hari ba'da sholat Jum'at Lato-lato'e menemui La Massora di rumahnya dan menceritakan semua yang ia saksikan. Masa itu Arung Alitta sudah memeluk agama islam sekitar abad ke lima belas. Hari Jum'at berikutnya La Mossora masuk hutan untuk memastikan kebenaran informasi yang ia dapatkan tentang anak bidadari dan anjing peliharaannya. Bersama Lato-lato'e, La Bolong dan beberapa orang pengawal ia pun sampai di tempat itu dan membuat tempat persembunyian yang strategis menggunakan kayu besar yang ditancapkan kedalam lubang yang ia buat sedalam pusar, dengan begitu mereka bisa melihat dengan jelas yang di tunggu-tunggunya.

Matahari tepat berada di atas kepala dari kejauhan terlihat tujuh perempuan yang mendekat menujuh bujung pitue. Begitu juga dengan La Bolong tiba-tiba berlari kesana. Seperti yang dikatakan Lato-lato'e, anjing kesayangan La Massora pernah bersama anak bidadari di sana dan sekarang ia melihat lansung hal tersebut. Sepertinya keberadaan mereka tercium, salah satu dari anak bidadari mengatakan "dioko magatti nasang engka sedding mabbau tau lino" (cepatlah kalian mandi karna saya mencium aroma manusia disekitaran sini) akan tetapi yang paling bungsu tidak mempedulikan kata-kata itu dan tetap asyik bermain air. Keenam kakanya pun bersegera meninggalkan Bujung Pitue, karna terbawa keceriaan bersama La Bolong si bungsu tidak menyadari bahwa ia telah di tinggal sendiri.

Kesempatan inilah yang digunakan oleh La Massora untuk mengambil selendang anak bidadari dan menangkapnya. Dengan bantuan pasukannya anak bidadari ditandu ke perkampungan. Saat sampai diperkampungan masyarakat Alitta berkumpul di suatu tempat untuk melihat lansung anak bidadari itu. Tempat itu kemudian dinamakan Makkita (melihat) sekarang menjadi La Pakkita. La Massora kemudian meminta anak bidadari untuk menjadi istrinya. Akan tetepi anak bidadari mengajukan satu syarat, ia ingin dibuatkan sumur khusus karna ia tidak ingin bercampur air yang dipakai untuk mandi dengan manusia. Sumur itu sekarang menjadi situs budaya karna ia berada di kampung yang sudah diberi nama La Pakkita maka namanya mengikuti yaitu Sumur La Lapakkita.

Sedangkan anak bidadari dipanggil We Bungko artinya bungsu. Dari penikahan La Massora dengan We Bungko mereka dikaruniahi seorang anak laki-laki, namanya adalah La baso. Singkat cerita suatu peristiwa yang tidak pernah diduga oleh La Massora, ketika sang bidadari Mallajang (menghilang) dan menitipkan pakaian/selendang-nya yang kemudian menjadi Arajang (Kebesaran) di Alitta hingga sekarang ini.

-HS’Masagenae

SEJARAH KERAJAAN SUPPA Part II

ILUSTRASI, Sumber : http://goo.gl/lhB5cq
Sejarah Kerajaan Suppa Part I saya telah menjabarkan tentang proses terbentuknya kerajaan suppa oleh kedatangan To Manurung We Tipulinge yang kemudian ia dinobatkan sebagai Datu Suppa pertama oleh masyarakat Suppa. Untuk kesempatan kali ini saya akan mepaparkan regenerasi dari Datu suppa.

****

Dengan dianggakatnya We Tipulinge sebagai Datu Suppa pertama dan setelah ia di persunting oleh Labangngenge Manurung Ri Bacukiki maka terbentuklah keluaga dalam kerajaan Suppa, ini kemudian menjadi cikal bakal regenerasi Datu Suppa yang kelak akan meneruskan kepemimpinan.
Dari persilangan kedua To Manurung Suppa dan Sawaitto, kemudian melahirkan tiga orang anak,

1.    Lateddung Lompoh (lk)
2.    Laboting Langi (lk)
3.    We Pawawoi (pr)

Atas kehendak kedua orang tuannya, Lateddung Lompoh ditunjuk sebagai Datu Suppa sekaligus merangkap sebagai Addatuang Sawitto. Kebijakan itu kemudian menimbulkan kekecewaan dari adiknya karna ia hanya diberikan kerajaan kecil yaitu Tanete. apa’na akkarungang baiccu-mi ripamanakiangngi “Hanya kepemimpinan kecil diwariskan kepada saya” kata  Laboting Langi yang menjabat sebagai Arung Tanete. (sumber : Terjemahan Lontara Suppa Dinas Sosial, Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Pinrang 2012). Sedangkan adiknya yang bungsu We Pawawoi menjadi Arung di Bacukiki, dan di nikahi oleh anak Addaowang Sidenreng La Songko Ulaweng.

Tanpa menafikkan alasan/pendekatan yang lain, mungkin saja garis hirarkis yang menjadi salah satu pertimbangan kenapa Lateddung Lompo yang diberi kuasa penuh untuk menggantikan ayah dan ibunya di Suppa dan Sawitto. Karna Datu Suppa yang menggantikan La Teddung Lompo juga merupakan anak pertamanya yaitu La Putebuluh. Akan tetapi Jika kita menggunakan pendekatan lain, biasanya dalam budaya Bugis, anak yang paling mirip dengan sosok ayah dan ibunya yang akan mewarisi pusaka sebagai bukti bahwa dia adalah pemimpin selanjutnya. Mirip yang di maksud bukan secara biologis akan tetapi karakter. Walaupun Itu hanya hipotesis saya dan masih membutuhkan pendalam data yang falid untuk kebenarannya.

-HS’Masagenae

Menghadiri Pelantikan PP-KPMP : Selamat Atas Dilantiknya Saudara Awaluddin Nadjib Sebagai Ketua Umum PP-KPMP

Minggu, 18-Mei-2014

Beberapa orang panitia terlihat lagi sibuk di depan panggung, nampaknya mereka lagi mempersiapkan pelantikan PP-KPMP. Ruangan masih terlihat sepi karna belum ada satu pun tamu datang, padahal jadwal pembukaan yang di cantumkan di dalam undangan yang diedarkan sudah lewat. Sepertinya kami dari KMP-Poltek undangan yang paling cepat datang, hampir sekitar setengah jam kami nongkrong di luar karna acaranya lambat dimulai. Saya sempat heran kenapa kegiatan ini bisa molor padahal kata salah seorang teman kegiatan ini akan di hadiri oleh wakil Gubernur Sul-Sel,  Ir. H. Agus Arifin Nu'mang, M.S. dan Bupati Pinrang, Andi Aslam Patonangi SH MSi. Kegiatan ini juga bakalan dirangkaikan dengan rapat kerja pengurus PP-KPMP.

Tak lama berselang rombongan wakil gubernur Sul-Sel dan Bupati Pinrang menaiki tangga menuju tempat pelantikan, kedatangan mereka sepertinya menjadi lampu hijau untuk dimulainya acara pelantikan. Setelah berada di dalam ruangan acara pembukaan pun lansung dimulai walaupun undangan yang lain masih banyak yang belum datang, karna beberapa menit acara berjalan kursi untuk tamu masih banyak yang kosong.

Gedung Local Education Center (LEC) Athirah Antang
Nanti setelah sambutan-sambutan barulah kursi tersebut menjadi padat. Sambutan pertama di mulai oleh Ketua PP-KPMP terpilih, dalam sambutannya iyya sempat menyinggung tentang pengadaan KPMP Center sebagai sentrum untuk pengurus kedepan. Karna di antara delapan asrama Pinrang yang ada sekarang tidak satu pun yang dijadikan sebagai KPMP Center untuk menjadi titik pertemuan kader KPMP Pinrang. Sejenak dalam pikiran saya pun terlintas pertanyaan, kenapa yahh bukan asrama yang sudah jadi saja dijadikan KPMP Center? bukankah hal itu bisa lebih cepat! dan selain itu pengurus juga bisa berbaur dengan mahasiswa Pinrang yang sudah menjadi penghuni asrama. Lagian jika harus membangun asrama baru maka itu akan menguras anggaran pemerintah sementara disisi lain 71.253 jiwa (data tahun 2010) masyarakat miskin membutuhkan tetesan dana yang merupakan hak mereka sebagai warga Pinrang. Bukankah lebih humanis(?) jika alokasi dana pengadaan KPMP Center di alihkan ke sana dan seluruh elemen mahasiswa organisasi daerah Kabupaten Pinrang tinggal mengawal bagaimana dana itu bisa tepat sasaran kalau pun pemerintah mengindahkan pembuatan asrama baru. Setelah sambutan ketua PP-KPMP dilanjutkan oleh sambutan Bupati Pinrang dan Wakil Gubernur Sul-Sel sekaligus membuka acara rapat kerja PP-KPMP hingga acara itu di tutup dengan pembacaan doa oleh salah satu panitia pelaksana.

*****

Melalui tulisan ini saya menyempatkan diri dengan segala hormat mengucapakan selamat kepada saudara Awaluddin Nadjib atas dilantiknya sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Kesatuan Pelajar Mahasiswa Pinrang (PP-KPMP) 2014-2016. Semoga bisa mewujudkan visi dan misi-nya selama satu periode kepengurusan dan bisa menjadi jembatan aspirasi masyarakat Pinrang. Amin.

Hormat Saya. -HS'Masagenae

Antara Demokrasi Sekuler dan Teokrasi

BEBERAPA minggu yang lalu ketika saya hendak membeli pulsa, dua orang lelaki sedang bercerita tentang pemilu yang berlangsung pada 9/4/2014 sebut saja namanya Pak Aco dan Pak Beddu (nama samaran). Mereka nampaknya sudah mempunyai pilihan caleg masing-masing. 

Diskusi alot mereka membuat saya duduk sejenak untuk menjadi pendengar setia. Pak Aco kemudian menunjuk foto caleg yang ada di depan saya, sambil mengatakan bahwa itu adalah saudara saya. “Saudaranya nyaleg dengan membawa visi-misi mensejahtrakan rakyat dengan bermodalkan gelar akademik Serjana Hukum“ tuturnya.

Kemarin kakanya sudah menyelesaikan satu periode di DPR pusat dan ingin melanjutkan program yang sudah ia jalankan. ‘Tambahnya lagi. “Pak selama ini, apa anda tau apa-apa saja undang-undang yang sudah dibuat dan diamandemen oleh kaka anda selaku anggota DPR periode kemarin? “saya memotong pembicaraan sambil bertanya. Banyak sih “tapi sayang saya sudah lupa semua nak’. Jawabnya dengan wajah bingung. Kemudian ia melanjutkan pembicaan dengan memaparkan janji-janji politik kakanya selaku caleg dari salah satu parpol.

****

Sungguh naïf bagi kita yang telah memberikan kepercayaan kepada para legislator untuk merumuskan hukum di Negara ini sebagai bangsa berpenduduk islam terbesar di dunia sementara hukum itu sudah ditetapkan olah Allah swt dalam agama yang telah ia turunkan melalui para walinya. 

Yah, demokrasi kita merupakan percontohan dari demokrasi barat yang merupakan buatan manusia. Demokrasi yang memberikan kekuasan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. 

Akibatnya banyak ketetapan di dalam undang-undang yang tidak sesuai dengan nilai-nilai humanis, moralis dan spritualitas. Sebut saja Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, yang melegalkan eksploitasi dan kemersialisasi di negeri kita.

Ilustrasi, Sumber : http://goo.gl/YNbfFs
Demokrasi sekuler yang diperkenalkan oleh barat seperti yang dikatakan oleh Abraham Linclon; dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dimana kekuasaan secara mutlak dipercayakan kepada legislator untuk membuat dan menetapkan hukum sebagai perwakilan rakyat di kursi pemerintahan. 

Akan tetepi di satu sisi terdapat jarak antara legislator dan rakyat yang mengakibatkan terjadinya miss komunikasi antara mereka.  Seperti yang terjadi pada Pak Aco yang tidak mengetahui perumusan undang-undang yang telah dilakukan oleh saudaranya selaku anggota DPR RI, begitu pula dengan masyarakat yang lain. Karena punya saudara saja di anggota DPR RI tidak tau apa yang mereka buat, bagaimana dengan yang tidak?

****

Demokrasi barat sangat bertentangan dengan Teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan) karna tidak menjadikan syariat sebagai landasan sistem Negara. Jika kita menjadikan Teokrasi sebagai dasar hukum maka wewenang kita hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang telah digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt. 

Karena dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Dengan demikian undang-undang yang dihasilkan pasti selaras dengan Teokrasi dan yang menentukannya bukan voting rakyat akan tetapi iktiar dari seseorang dengan cara mendekatkan diri kepada pembuat hukum yaitu Allah Swt. Bukankah ulama dengan pencuri berbeda? yang di dalam demokrasi liberal suara mereka disamakan.

Sederhanya adalah Allah Swt berposisi sebagai legislator (pembuat hukum) sementara manusia berposisi sebagai orang yang berusaha memahami dan menjabarkan hukum-Nya. Jadi konstitusi harusnya relevan dengan hukum teokrasi dan hanya dengan iktiar personal (perjalanan spritual) hukum itu bisa dipahami dan dijawantahkan di kalangan masyarakat. 

Semakin besar iktiar seseorang menjalankan ibadah maka ia akan semakin dekat dengan pemilik hukum sehingga kemungkinan salah dalam mengintegritaskan nilai-nilai tauhid akan semakin kecil.

Sedangkan demokrasi liberal yang tidak mengindahkan aspek spritulitas begitu mudah untuk melakukan kecurangan karna tidak ditopang dengan pondasi yang kuat yaitu Teokrasi, sehingga walaupun seorang pencuri sah-sah saja menjadi perumus undang-undang karna yang menentukan adalah suara terbanyak, akibatnya berbagai macam cara kemudian dilakukan oleh para aktor demokrasi untuk memenangkan kompetisi politik. 

Yang diuntungkan adalah orang yang memiliki kekayaan karena dengan uang-nya mereka bisa melanggengkan kekuasaannya di atas panggung demokrasi dengan membeli suara orang miskin.

****

Pertanyaan kritisnya adalah, siapakah yang lebih pantas untuk menegakkan hukum, orang yang memiliki suara terbanyak ataukah orang yang paling dekat dengan Allah Swt.?

18 Mei 2014
-HS'Masagenae

Situs Sejarah Makam Raja Tallo

Seorang lelaki sedang duduk terdiam sembari memandangi batu nisan dalam komleks makam raja Tallo, ia sedang mejalankan tugas di makam tersebut. setiap hari kerja ia selalu melakukan aktifitas itu berhubung ia adalah penjaga yang mengelolah makam. Selamat siang Pa’ sapa saya, Ia lansung terkejut saat mendengar suara saya. Dengan perlahan ia melangkahkan kaki ke arah saya dan mengarahkan saya untuk mengisi absen registrasi pengujung, kemudian ia mengajak saya duduk bersama di pos jaga sambil mengobrol.

Pa Ibrahim, panggilan akrabnya. Ia berasal dari kabupaten pangkep datang ke Makassar pada tahun 1990. Ia adalah PNS kemendikbud yang bertugas untuk merawat dan menjaga kompleks makam raja Tallo. Sebagai PNS ia dituntut untuk megikuti ketentuan admistrasi, jadi setiap pagi di hari kerja sebelum pukul 08:00 Wita ia harus ke benteng Rotterdam untuk mengisi daftar hadir setelah itu ia lansung ke makam raja Tallo untuk menjalankan tugas, dan kembali lagi ke benteng Rotterdam pukul 15:00 untuk mengisi lagi daftar hadir sebelum ia pulang ke rumah. Yah itulah rutinitas yang dilakukannya sebagai tanggung jawab pekerjannya, tutur Pa Ibrahim ke saya.

Tampak salah satu makam yaitu Sultan Mudafar, Imanginyarrang Dg Makkiyo Raja Tallo VII selalu ramai oleh peziarah, apa lagi jika menjelang bulan ramadhan. Peziarah bukan cuman dari masyarakat yang tinggal di sekitar makam, akan tetapi dari luar makassar juga sering datang kesana. Adapun para pengunjung dari luar negri yaitu para turis mereka hanya datang untuk berwisata dan ada juga dari kalangan Mahasiswa yang datang untuk mencari informasi tentang sejarah kerajaan Tallo. Sultan Mudaffat sewaktu masih menjadi Raja Tallo ia di beri gelar macang kebo karaeng Tallo (macan putih raja Tallo). Karna beliau adalah raja pemberani, bagaikan macan ketika ia berada dalam medan perang.

Papan Nama Makam Sultan Mudaffar
Biasanya para peziarah yang datang kesana harus ditemati oleh pinati, seorang juru doa makam yang menemani peziarah. Pinati merupakan seorang juru kunci para peziarah karna mereka tidak bakalan bisa berziarah tanpa kehadiran pinati. Menurut Pa Ibrahim sosok pinati adalah orang yang secara turun temurun bertanggung jawab untuk mebacakan doa para peziarah yang datang kesana. Secara administarsi memang Pa Ibrahim selaku pengelolah dan penjaga makam akan tetapi budaya masyarakat Tallo tetap meyakini, pinati-lah yang sebenarnya penjaga makam, karna tanggung jawab itu merupakan tugas lansung yang diberikan oleh raja tallo kepada pinati pertama sampai pinati sekarang yang memiliki garis keturunan yang sama.

*****

Kompleks makam raja Tallo sangatlah mudah diakses berhubung karna tahun 2013 kemarin jalannya sudah diperbaiki hingga sampai di depan makam. Letaknya juga tidak jauh dari pusat kota (lapangan karebosi) hanya sekitar 6 km sebelah utara pusat kota, dengan waktu 15 menit kita sudah sampai di makam tersebut kalau kita berangkat dari pusat kota. Dan letak wilayah Kecamatan Tallo yang dekat dengan pintu tol Tallo, yaitu Jl Tol Ir Sutami dan Jl Tol Pelabuhan membuat situs ini juga mudah diakses baik dari pusat Kota Makassar maupun Bandara Sultan Hasanuddin, bisa menggunakan taksi maupun angkutan kota (petepete).

Di depan makam terdapat tembok besar yang terukir tulisan 21 nama-nama orang yang dimakamkan di dalam komleks. Menurut Pa Ibrahim bahwa ke 21 nama tersebut adalah nama beberapa raja-raja Tallo beserta dengan keluarga raja. Dalam sejarah pun dijelaskan bahwa sekitar abad  17 sampai dengan abad 19 kompleks makam raja Tallo merupakan pemakaman khusus keluarga kerajaan. Itulah sebabnya kenapa pemerintah memberikan nama situs sejarah tersebut Kompleks Makam Raja Tallo Sul-Sul pada saat makam itu dipukar menjadi objek wisata tahun 1974-1975 dan 1981-1982 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Adapun 21 nama tersebut :

1.    Sultan Mudafar (Imanginyarrang Dg Makkiyo, Raja Tallo VII, 1598 – 1641)
2.    Sawerannu (istri Raja Tallo VII)
3.    Sultan Abd. Kadir (Mallawakkang Dg Matinri, Raja Tallo IX)
4.    Sultan Syaifuddin (Imakkasumang Dg Mangurangi, Raja Tallo XII, 1770 – 1778)
5.    Sultana Sitti Saleha (Madulung, Raja Tallo XIII)
6.    Sultan Muh Zainal Abidin (La Oddang Riu Dg Mengeppe, Raja Tallo XV, Raja Gowa XXX)
7.    Yandulu (Krg Sinrijala)
8.    Pakanna (Raja Sanrobone XI)
9.    Sultana Sitti Aisyah (Mangati Dg Kenna)
10.    I Malawakkang Dg Sisila (Abd Kadir)
11.    Abdullah Bin Abd Gaffar (Duta Bima di Tallo)
12.    Linta Dg Tasangnging (Krg Bonto Sunggua Tumabicara Butta Gowa)
13.    Abdullah Daeng Riboko
14.    Arif Krg Labbakang
15.    Imanuntungi Dg Mattola
16.    Karaeng Parang-Parang (Krg Bainea Ri Tallo)
17.    Saribulang (Krg Campagana Tallo)
18.    Mang Towayya
19.    Sinta (Karaeng Samanggi)
20.    Karaenta Yabang Dg Talomo (Krg Campagaya Krg Bainea Ri Tallo)
21.    Karaeng Mangarabombang (Krg Bainea Ritallo).

Tallo merupakan kerajaan kembar Gowa, di masa pemerintahan Tunatangka Lopi Gowa di bagi menjadi dua wilayah dan kedua anaknya yang meneruskan kepemimpinan tersebut yaitu Batara Gowa dan Karaeng Leo RI Sero sebagai raja Tallo. Hingga pada era Lamakkarupa Daeng Parani Arung Lipukasi kerajaan Tallo dilebur kedalam Gowa dan sekarang domain Tallo hanya menjadi salah satu kecamatan di kota Makassar.

-HS’Masagenae

Halaman

Twitter

 
Support : http://sempugi.org/ | Your Link | Your Link
Copyright © 2014. Haeruddin Syams - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger