Foto Saya

Home » , » Kisah di Balik Maccera Arajang Kerajaan Alitta

Kisah di Balik Maccera Arajang Kerajaan Alitta

Rombongan masyarakat adat dengan pakaian khas Bugis telah meniggalkan rumah kepala desa Alitta menuju tempat penyimpanan Arajang kerajaan Alitta. Sebelumnya mereka telah menjemput Sanro Wanua secara adat yang nantinya akan diarak keliling desa oleh empat orang dengan menggunakan walah suji bersama dengan warga yang diiringi irama musik tradisional. Yah, Sanro wanua-lah yang akan memimpin prosesi maccera Arajang di rumah adat dan di dalam halaman sumur Manurung Lapakkita. Tidak ingin ketinggalan, beberapa tamu yang begitu antusias turut berpartisipasi sembari mendokumentasikan moment yang amat penting itu. Salah satu dari mereka adalah komunitas LSM Sempugi dan saya tergabung dalamnya.

Rombongan Masyarakat Adat
Anggota Komunitas LSM Sempugi
Sanro Wanua
Acara adat ini kurang lebih sudah lima puluh dekade terselenggara secara turun temurun dikalangan masyarakat Alitta. Semenjak masa kepemimpinan Arung Alitta yang ke tiga La Massora yang memprakarsai lahirnya sebuah Arajang kerajaan. Dan dilakukan kegiatan Maccera satu kali dalam lima tahun hingga sekarang. Kali ini dana yang digunakan berasal dari swadaya warga Alitta berupa uang ataupun beras yang sudah ditetapkan nominalnya dan beberapa donatur yang masih menjujung tinggi adatnya dengan memberikan bantuan agar kegiatan tersebut bisa terselenggara.

****

Alitta merupakan salah satu dari lima kerajaan konfederasi Ajatappareng yang dulunya membentuk sebuah kekuatan untuk membentengi kekuatan militer Goa. Tapi saya tidak akan membahas terlalu jauh tentang itu tapi lebih kepada era La Massora. Menurut informasi dari daeng Cindang, Arajang Alitta berupa pakaian/selendang seorang bidadari yang pernah menjadi istri Arung Alitta ke tiga. Dalam lontara Alitta pun mendeskripsikan kisah mereka dan begitu juga tutur yang dipecayai oleh warga setempat.

Seperti biasa senyum tipis Daeng Cindang senantiasa ia pancarkan saat lagi bercerita, saya duduk santai didepannya bersama dengan sureng Sempugi sambil menyimak secara seksama ia menjelaskan kisah di balik Arajang Alitta. Adapun ceritanya sepeti berikut ; Setiap malam jum'at La Bolong-anjing peliharaan La Massora tidak pernah pulang kerumah nanti ketika malam sabtu anjing itu baru kembali, anehnya La Bolong selalu pulang dengan aroma harum dan itu sudah berlansung selama beberapa pekan sehingga membuat ia penasaran. Hal itu pun ia sampaikan kepada para penjaga dan masyarakat Alitta hingga cerita itu menyebar.

Di tempat yang lain tepatnya hutan di gunung yang masih wilayah Alitta, Lato-lato'e pangonrang manu kale'na La Massora (penjaga ayam hutan La Massora) mendengar suara anaddara (perempuan) beserta percikan air dan gongngongan anjing. Rasa penasaran pun menggerakkan ia melangkahkan kaki untuk mencarinya. Saat ia menemukan asal suara itu ia melihat tujuh perempuan "dalam lontara Alitta dituliskan anak bidadari" sedang mandi dan bermain air dengan La Bolong, Tempat itu dinamakan Bujung Pitue "tujuh buah sumur kecil kira-kira besar mulut sumur seperti piring makan. Dengan wajah kaget ia bersegera pergi untuk mencari La Massora guna menyampaikan peristiwa tersebut.

Di siang hari ba'da sholat Jum'at Lato-lato'e menemui La Massora di rumahnya dan menceritakan semua yang ia saksikan. Masa itu Arung Alitta sudah memeluk agama islam sekitar abad ke lima belas. Hari Jum'at berikutnya La Mossora masuk hutan untuk memastikan kebenaran informasi yang ia dapatkan tentang anak bidadari dan anjing peliharaannya. Bersama Lato-lato'e, La Bolong dan beberapa orang pengawal ia pun sampai di tempat itu dan membuat tempat persembunyian yang strategis menggunakan kayu besar yang ditancapkan kedalam lubang yang ia buat sedalam pusar, dengan begitu mereka bisa melihat dengan jelas yang di tunggu-tunggunya.

Matahari tepat berada di atas kepala dari kejauhan terlihat tujuh perempuan yang mendekat menujuh bujung pitue. Begitu juga dengan La Bolong tiba-tiba berlari kesana. Seperti yang dikatakan Lato-lato'e, anjing kesayangan La Massora pernah bersama anak bidadari di sana dan sekarang ia melihat lansung hal tersebut. Sepertinya keberadaan mereka tercium, salah satu dari anak bidadari mengatakan "dioko magatti nasang engka sedding mabbau tau lino" (cepatlah kalian mandi karna saya mencium aroma manusia disekitaran sini) akan tetapi yang paling bungsu tidak mempedulikan kata-kata itu dan tetap asyik bermain air. Keenam kakanya pun bersegera meninggalkan Bujung Pitue, karna terbawa keceriaan bersama La Bolong si bungsu tidak menyadari bahwa ia telah di tinggal sendiri.

Kesempatan inilah yang digunakan oleh La Massora untuk mengambil selendang anak bidadari dan menangkapnya. Dengan bantuan pasukannya anak bidadari ditandu ke perkampungan. Saat sampai diperkampungan masyarakat Alitta berkumpul di suatu tempat untuk melihat lansung anak bidadari itu. Tempat itu kemudian dinamakan Makkita (melihat) sekarang menjadi La Pakkita. La Massora kemudian meminta anak bidadari untuk menjadi istrinya. Akan tetepi anak bidadari mengajukan satu syarat, ia ingin dibuatkan sumur khusus karna ia tidak ingin bercampur air yang dipakai untuk mandi dengan manusia. Sumur itu sekarang menjadi situs budaya karna ia berada di kampung yang sudah diberi nama La Pakkita maka namanya mengikuti yaitu Sumur La Lapakkita.

Sedangkan anak bidadari dipanggil We Bungko artinya bungsu. Dari penikahan La Massora dengan We Bungko mereka dikaruniahi seorang anak laki-laki, namanya adalah La baso. Singkat cerita suatu peristiwa yang tidak pernah diduga oleh La Massora, ketika sang bidadari Mallajang (menghilang) dan menitipkan pakaian/selendang-nya yang kemudian menjadi Arajang (Kebesaran) di Alitta hingga sekarang ini.

-HS’Masagenae

0 komentar:

Posting Komentar

Halaman

Twitter

 
Support : http://sempugi.org/ | Your Link | Your Link
Copyright © 2014. Haeruddin Syams - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger