Foto Saya

Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Kompleks Makam Raja Tallo Dalam Konstruk Masyarakat Modern

IRFAN dan HS'Masagenae
Tipologi masyarakat perkoataan sangat identik dengan bangunan modern yang menyediakan berbagai fasilitas mewah, tak heran jika mall-mall menjadi tempat idola masyarakat Makassar untuk mengisi hari libur mereka. Hal itu sudah menjadi budaya meanstrem masyarakat kota dimana ketika masyarakat desa datang ke kota mayoritas dari mereka memilih mall sebagai pilihan utama untuk dikunjungi.

Saya ingat ketika pertama kali menginjakkan kaki di Makassar, walaupun saya tidak meminta teman saya langsung mengajak saya pergi ke mall. Bukan cuman mall masih masih banyak bangunan mewah lainnya yang menjadi idola di kota Makassar misalnya trans studio, rumah bernyanyi, bahkan sampai tempat hiburan lokalisasi dan klub malam.

Imbasnya adalah objek wisata yang tidak dilengkapi dengan fasilitas mewah tidak termasuk dalam daftar pilihan untuk dikunjungi, seperti objek wisata budaya benteng rotterdam, benteng sombaopu, dan makam raja Tallo yang terlupakan akibat kemegahan yang disajikan oleh kota Makassar. Tapi diantara ketiga tempat wisata budaya itu yang paling sepi dari pengunjung ialah kompleks makam raja Tallo

Padahal jika dipikir-pikir objek wisata budaya lebih memiliki unsur edukatif  jika dibandingkan dengan mall-mall, misalnya kompleks makam raja Tallo, disana kita bisa mendapat informasi sejarah kota Makassar khususnya tentang kerajaan Tallo oleh pengelolah makam dan masyarakat yang tinggal disekitaran makam. Apalagi disana juga tempat dimakamkannya beberapa perintis cikal bakal terbentuknya kota Makassar yaitu raja-raja Tallo

Beberapa hari yang lalu saya berkunjung di makam raja Tallo dan saya sempat berbincang dengan salah satu masyarakat disana. Katanya dulu makam ini sangat ramai didatangi oleh orang terutama bangsawan Bugis/Makassar, akan tetapi mereka bukan hendak berwisata melainkan berziarah. Dulu mereka juga sangat menjaga dan mensakralkan makam tersebut mengingat bahwa disana tempat dimakamkannya raja-raja Tallo yang memiliki sejarah riwayat kepemimpinan yang luar biasa olehnya itu masyarakat sangat segan dan menghormatinya.

Masyarakat Makassar dulunya setelah melakukan resepsi pernikahan mereka biasanya meluangkan waktu untuk berziarah ke makam raja Tallo setelah sehari resepsi pernikahan, terutama masyarakat yang tinggal disekitaran pusat kerajaan Tallo yang sekarang menjadi kecamatan Tallo. Bahkan orang dari luar Makassar pun biasanya menyempatkan diri untuk datang berziarah kesana apalagi di hari raya idul fitri dan idul adha.

***

Akan tetapi konstruk modernisasi telah merubah paradigma masyarakat yang dulunya begitu meluhurkan sejarah dan kebudayaannya, memuliakan pendahulunya karna telah berperan besar untuk membentuk peradaban masyarakat Makassar. Kini seakan mata meraka tertutup oleh gemerlap kota Makassar, kota modern yang dihiasi bangunan mewah yang dibangun oleh pemilik modal kapitalisme. Paradigma yang membuat situs-situs sejarah menjadi objek wisata dan menghilangkan esensi kesakralannya.

Semenjak makam raja Tallo dipukar menjadi objek wisata budaya oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1974-1975 dan 1981-1982 hampir semua orang yang datang kesana hanya untuk berwisata. Berbeda dengan yang dilakukan oleh masyarakat dulu yang datang untuk berziarah. Apakah mereka tidak tau bahwa makam yang mereka jadikan sebgai objek wisata budaya adalah makam raja-raja Tallo yang sangat disegani dan dihormati.

Raja sebagai penguasa sebagian besar wilayah kota Makassar pada saat belum terbentuknya RI, walaupun kini Tallo hanya sebuah kecamatan yang luasnya tidak sebanding pada saat Tallo masih menjadi kerajaan. Berbeda dengan kerajaan kembar Tallo yaitu Gowa yang menjadi sebuah kabupaten. Bukanya saya mendukung feodalisme akan tetapi kita juga harus memberikan penghormatan kepada beliau, bukan dengan menjadikan makamnya sebagai objek wisata budaya.

Jika kita bercermin kepada masyarakat Jepan yang tergolong masyarakat modern akan tetapi mereka sangat menjaga budaya dan tidak pernah melupakan sejarahnya dan mensinergiskan antara sains dengan kebudayaan. Kenapa mereka bisa melakukan itu,  sementara masyarakat modern kota Makassar tidak bisa melakukannya.?


Entahlah kenapa itu bisa terjadi! melalui tulisan ini saya ingin mengajak para pembaca khusunya masyarakat modern kota Makassar agar kita sama-sama menjaga dan melestarikan situs-situs sejarah kota Makassar.

-HS'Masagenae

Coretan Refleksi : Ekspose hasil survei IDEC dan Diskusi Politik “Membaca Politik Makassar, dan Meramal Politik Nasional”


Foto Narasumber Diskusi Politik
HARI ini aku baru saja mengikuti ekspose dan diskusi politik yang dilaksanakan oleh salah satu lembaga riset yaitu IDEC di woodsy Gab. Sebagai lembaga riset IDEC telah melaksanakan survei tentang persepsi pemilih menyangkut partai politik sebagai peserta pemiliu 2014 mulai dari tanggal 25 januari – 10 Februari. Dengan mengambil 640 sampel dan margin of eror ± 4 % pada lima daerah pemilihan kota Makassar. Acara itu juga diikuti oleh beberapa caleg partai politik dan media.

Direktur Riset IDEC yang akrab disapa Bang Rahmat mengawali diskusi dengan memaparkan hasil survei yang telah mereka lakukan bersama team survei IDEC. Salah satu hasil survei yang masih hangat dalam ingatanku adalah tentang alasan partisipasi pemilih pada 9 April mendatang adapun hasil surveinya sebagai berikut.

•    54.55 % karna sadar akan hak dan tanggung jawab sebagai warga Negara
•    1.01 % karna tertarik kepada visi dan misi caleg parpol yang saya dukung
•    14.14 % karna ingin ada perubahan dan perbaikan nasib melalui partai yang didukung
•    8.33 % ikut-ikutan
•    2.02 % karna ada keluarga yang menjadi caleg
•    1.26 % karna ada calon president atau tokoh partai yang disenangi
•    18.69 % karna menanti pemberian dari caleg dan parpol dimasa jelang pemilihan

Dari hasil survei di atas sangat terlihat jelas bahwa parpol tidak bisa menyajikan caleg yang berkulitas yang memiliki nilai jual kepada masyarakat dalam pesta demokrasi politik, terlihat hanya 1.01 % responden yang berpartisiapasi untuk memilih karna tertarik kepada visi dan misi caleg.

***
Pada kesempatan ini aku tidak akan banyak bercerita tentang hasil survei IDEC karna takutnya yang aku sampaikan sangat subjektif. Aku lebih tertarik dengan diskusi politiknya. Karna selain direktur IDEC ada tiga narasumber yang di hadirkan pada acara disikusi politik tersebut yaitu Pa Firdaus Muhammad, Pa Hidayat Nawir Rasul, dan Pa Aswar Hasan.

Hampir semua narasumber menjelaskan secara gamblang tentang bobroknya sistem demokrasi politik di negri ini, dari berbagai sudut pandang berbeda baik itu perspektif media, akademisi, praktisi, pemerintah, partai politik dan lain sebagainya, seperti yang disampaikan oleh salah satu narasumber tentang sistem pemilihan transaksional yang mendominasi dalam pesta demokrasi, hingga sampai kepada kesimpulan bahwa mayoritas pemilih dalam hal ini rakyat membutuhkan pendidikan politik untuk menjadi pemilih cerdas.

Ketika salah satu seorang peserta bertanya akan hal itu, siapa yang bertanggung jawab atas kurangnya pendidikan politik yang didapatkan oleh rakyat? Aku sangat kecewa mendengar jawaban yang diberikan oleh beberapa narasumber karna mereka memberikan jawaban yang ambigu dan saling melempar bola, ditambah lagi komentar beberapa peserta diskusi yaitu para caleg papol yang melempar kembali bola yang diberikan kepadanya oleh narasumber.

Dan ujung-unjungnya mereka menyalahkan rakyat karna menjadi pemilih pragmatis. Sekiranya rakyat sebagai pemilih juga diberikan kesempatan dalam panggung-panggung publik untuk menyampaikan pembelaan diri, mereka juga pasti memantulkan bola yang diberikan kepadanya. Tapi sayang punggung publik hanya milik elite bangsa ini, mulai dari elite parpol, politisi, akademisi, media, NGO sampai kepada elite mahasiswa. Karna tukang beca, supir angkot, dan semua non elite tidak pernah diundang untuk berekspresi di atas panggnug publik.

Aku sangat heran mendengar ketika tuduhan itu ditujukan kepada rakyat, karna pada dasarnya mereka hanya memilih, apa yang disajikan oleh parpol sebagai aktor utama demokrasi politik. Toh rakyat juga tidak pernah ditanya celag dan pemimpin apa yang mereka inginkan, yang terjadi hanyalah rakyat menjadi pemilih determitis dari pilihan yang disajikan oleh berbagai parpol dan beberapa diantara mereka juga takut berdosa karna melanggar fatwa bahwa gol-put itu haram. Dan rakyat juga menjadi pemilih pragmatis (transaksional) itu karna mereka ditawari oleh beberapa caleg dan parpol bukan mereka yang memintannya, bukankah yang melakukan serangan fajar itu adalah orang-orang parpol dan caleg?

Setelah acara diskusi itu selesai aku sempat berpikir, bagaimana jika rakyat yang dituduh pemilih pragmatis di panel dengan caleg parpol dengan dua tema yang berbeda yang pertama masalah pendidikan politik, yang kedua masalah cara bertani yang baik bagi pemilih pragmatis petani, ataukah cara mencari penumpang bagi pemilih pragmatis tukang beca atau supir angkot, intinya tema kedua disesuaikan dengan profesi pemilih pragmatis “katanyan mereka” !!!

Hmmm aku pun ingin bertanya kepada pembaca, siapakah yang bertanggung jawab atas pendidikan politik rakyat (?)

Makassar 18 Februari 2014
-HS’Masagenae

Tan Malaka Pahlawan Tanpa Pamrih

Sumber http://salihara.org
Deretan nama pahlawan nasioanal telah memarginalkan sosok Tan Malaka dalam lembaran sejarah RI, ia hanya menjadi kenangan gelap beserta buah bibir para aktivis kampus, terutama bagi aktivis aliran kiri. Dan tak jarang pula kita dapatkan cacian yang ditujukan kepadanya oleh beberapa akademisi karna deskripsi sejarah telah menokohkan ia sebagai tokoh komunis.

Beberapa hari yang lalu aku  sempat melihat berita di media saat salah satu lembaga yang berlabelkan islam membubarkan forum diskusi dan bedah buku tentang pimikiran Tan Malaka. Sungguh malang nasip sang inspirator RI,  ia menjadi pelukis yang terlupakan sementara disisi lain karya lukisan beliau dipuja-puja bagaikan dewa penyelamat.

Rintihan dalam hati kecilku pun bertanya-tanya, kenapa mereka tidak sekalian memboikot situs di dunia maya yang menyajikan pemikiran komunis? Karana mereka membubarkan diskusi tentang pemikaran Tan Malaka dengan tuduhan bahwa ia adalah seorang komunis dan melarang penyebaran buah pemikirannya. Mungkin mereka tidak pernah membaca karya-karya revolusioner Tan Malaka yang begitu fantastik, sehingga wajar mereka begitu gamblang menuduhnya komunis.

Di kampus-kampus aku sering mendengarkan mahasiswa membangga-banggakan pahlawan nasional idola mereka dan tak banyak dari mereka yang mengidolakan Tan Malaka. Jika dibandingkan dengan Soekarno, Hatta, Soedirman, atau pahlawan nasional lain, nama Tan Malaka bukanlah apa-apa ia tidak terlalu dikenal oleh publik. Bahkan di era orde baru , tiap orang termasuk mahasiswa yang mengagumi perjuangannya terpaksa harus berhadapan dengan aparat karna bagi penguasa orde baru, Tan Malaka adalah momok jadi  setiap orang yang mengaguminya harus dicurigai.

Tan Malaka memang lebih dikenal dengan pimikiran-pimikirannya. Ia lebih banyak berjuang melalui ide-ide, mungkin inilah salah satu alasan kenapa bangsa ini tidak terlalu menganggap penting perjuangannya. Selama ini, orang-orang yang mendominasi daftar nama pahlawan nasional adalah mereka yang berjuang melalui perang, sedangkan Tan Malaka yang memilih berjuang dengan caranya sendiri yaitu bukan dengan angkat senjata tidak di kategorikan sebagai pahlawan nasional.

Tak heran jika banyak orang yang berlomba membangun prasasti untuk mengenang hasil perjuangan mereka melalui kebendaan. Maka, wajar ketika Marx mengukur sejarah manusia melalui materi. Dimana logika pikir kebanyakan orang terbentur pada materialisme. Logika pikir yang memberikan penghargaan perjuangan secara fisik. Olehnya itu Seorang atlet bisa mendapat penghargaan lebih dibanding seorang peneliti karna IDE telah dikalahkan oleh FISIK.

Aku pun kembali bertanya-tanya dalam rintihan hati kecilku, kenapa perjuangan seseorang pahlawan diukur dari perjuangan fisik? diukur dari berapa banyak serdadu yang mereka bunuh? Apakah mereka tidak paham bahwa revolusi pasti berawal dari gagasan? Dan apakah mereka tidak tau bahwa setiap perubahan kecil selalu diawali dari ide? Hingga mereka berusaha menghapus Tan Malaka dalam lipatan sejarah karna perjuangan ide-idenya dipecundangi oleh perjuangan fisik pahlawan nasional.

***
Meski mereka tidak menganggap Tan Malaka sebagai pahlawan nasional, hal itu tidak akan meruntuhkan kekagumanku kepada beliau, karna bagiku ia adalah sosok yang misterius dalam kancah pahlawan nasional dan sosok yang  keberadaannya selalu saja kontroversial, seperti ketika ia mendukung Soekarno untuk menjadi presiden pertama RI dan melawan ketika Soekarno mulai menerapkan demokrasi terpimpinnya.

Yang membuat aku kagum dari sosok Tan Malaka, karna ia adalah pejuang tanpa pamrih. Sejarah mencatat bahwa Tan Malaka tak pernah menduduki jabatan-jabatan birokrat seperti Soekarno ataupun Hatta. Perjuangan politik Tan Malaka lebih diwarnai pembangkangan terhadap penguasa dan bahkan kehidupannya harus ia habiskan dari penjara ke penjara.

Ketika zaman imperialisme Belanda, ia harus mendekam di penjara begitu pula ketika Jepang berkuasa ia juga harus dipenjara, bahkan ketika Indonesia telah merdeka pun Tan Malaka harus dipenjara karna ia selalu menjadi pembangkang para penguasa.

Itulah sebabnya kenapa terlalu sedikit orang yang mengerti tentang Tan Malaka. Subjektivitas plus politisasi sejarah orde baru membuahkan gambaran gelap tentang peran ia untuk memperjuangkan republik ini. Dan pada akhirnya, Diponegoro, Imam Bonjol, Soekarno, Hatta, Soedirman, dan sederet nama pahlawan nasional lain menjadi lebih glamor dibanding Tan Malaka. Di antara nama-nama tersebut, Tan Malaka bukanlah apa-apa.

Walaupun Tan Malaka kalah tren dengan pahlawan nasional, dituduh komunis oleh beberapa orang terutama organ islam yang membubarkan acara diskusi dan bedah buku pemikirannya, sampai-sampai era orde baru mencoreng nama baiknya dan mengubur sejarah perjuangan yang ia lakukan untuk RI, dalam hati kecilku akan tetap selalu, selalu, dan selalu kagum kepada engkau TAN MALAKA.!

Makassar 17 Februari 2014
-HS’Masagenae

Tinjauan Kritis Asal Mula Nama Pinrang

Majalah Sastra SALO SADDANG
Kamis, 30/Januari/2014, Aku mendapatkan sebuah majalah dari seorang teman, ia adalah sosok spirit bagiku untuk terus belajar menulis terutama tentang sejarah dan kebudayaan Pinrang. Selama ini referensi yang aku dapatkan tentang sejarah dan kebudayaan pinrang hampir semuanya kuperoleh darinya.

Satu kebahagian bagiku karna majalah yang ia berikan diterbikan oleh Komunitas Penulis Pinrang, aku menganggap bahwa majalah itu merupakan partisipasi reel perjuangan pemuda Pinrang untuk melestarikan kebudayaan lokal. ekspresi kebahagian itu merupakan puncak dari kegelisahanku karna selama ini hampir-hampir aku tidak menemukan saudara-saudarku di Pinrang yang melakukan hal itu.

Majalah itu adalah Majalah Sastra “Salo Saddang" media yang menampung kreasi berupa esai, cerpen, puisi, resensi, riset ataupun laporan jurnalistik. Aku sangat mengapresiasi karya itu karna sangat jarang kutemukan komunitas pemuda Pinrang yang memiliki perhatian lebih terhadap sejarah dan kebudayaan Pinrang dan partisipasi Komunitas Penulis Pinrang dengan membuat majalah itu menuruku sangat luar biasa karna media itu bisa menjadi sumber informasi untuk berbagai pengetahuan seputaran sejarah dan kebudayaan Pinrang, Yah semoga apa yang dilakukan oleh kawan-kawan team Majalah Sastra Salo Saddang bisa memberikan sumbangsi besar untuk perubahan Pinrang menjadi lebih baik lagi kedepannya.

***

Salah satu artikel dalam Majalah Sastra Salo Saddang  edisi I Januari-April terdapat tulisan yaitu Asal Mula Nama Pinrang oleh La Dawan Piazza, kesempatkan waktu untuk membuat tulisan ini untuk menjalin silaturahmi melalui media antar sesama pemerhati sejarah dan kebudayaan Pinrang.dan memberikan sudut pandang berbeda dari apa yang telah dipaparkan oleh La Dawan Piazza.

Dalam tulisannya La Dawan Piazza menyebutkan ada dua peristiwa asal mula penamaan Pinrang.

Peristiwa pertama “Pinra-Pinra Onroang” artinya pindah-pindah tempat, beliau mengatakan dalam tulisannya bahwa zaman dahulu banjir besar melanda Sulawesi, banyak daerah yang tergenang air termasuk daerah Pinrang. Jadi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut hidupnya berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk mencari  wilayah pemukiman yang bebas genangan air dalam bahasa bugis disebut “Pinra-pinra Onroang” (berpindah-pindah tempat). Setelah masyarakat menemukan tempat pemukiman yang baik maka dinamakan tempat tersebut, “Pinra-pinra” (Pindah-pindah).

Peristiwa kedua, Sekitar tahun 1540 kerajaan Gowa melakukan invasi militer terhadap kerajaan Sawitto dan perlawanan yang dilakukan oleh La Palateang Raja Sawitto pada saat itu dan para perajuritnya yang gagah berani tumbang oleh kekuatan militer Gowa. Kekelahan itu mengakibatkan ditangkapnya Raja La Palateang dan permaisurinya dan mereka dibawa ke Gowa sebagai tanda kemenangan Gowa atas Sawitto.

Singkat cerita diutuslah dua bersaurada To Barani yaitu To Lengo dan To Kipa untuk membebaskannya. Akhirnya mereka berhasil menyelamatkan raja La Palateang beserta permaisurinya dan dibawa kembali ke Sawitto. Kedatangannya pun disambut dengan luapan kegembiraan oleh rakyat dan dielu-elukan sepanjang jalan menuju istana.

Dibalik kebahagian itu, mereka terharu melihat kondisi sang raja yang mengalami banyak perubahan seraya mengatakan “Pinra kana’ni tappana datu’e pole ri Gowa” yang artinya wajah raja mengalami perubahan sekembalinya dari Gowa. (untuk lengkapnya silahkan baca di Majalah Sastra SALO SADDANG hal.34 Asal mula nama Pinrang oleh La Dawan Piazza)

Dalam penjelasan La Dawan Piazza mengatakan bahwa Pinrang berasal dari kata Pinra yang mengalami pengaruh intonasi dan dialek bahasa bugis sehingga menjadi Pinrang yang sekarang diabadikan menjadi Kabupaten Pinrang.

Dari tulisan beliau aku akan mencoba melakukan tinjauan kritis dari apa yang telah beliau jelaskan, misalnya penggunaan kata Pinra pada dua kalimat yang mempunyai arti yang berbeda yaitu “Pinra=Pindah” pada kalimat “Pinra-Pinra Onroang” dan “Pinra=Perubahan” pada kalimat “Pinra kana’ni tappana datu’e pole ri Gowa” bagaimana bisa satu kata yang mimiliki arti yang berbeda dalam dua kalimat?

Dan kedua peristiwa yang beliau sebutkan yang mejadi momentum kata Pinra dan digunakan untuk melegitimasi penamaan Pinrang terjadi pada waktu yang berbeda peristiwa pertama adalah peristiwa banjir besar sebelum terbuntuknya kerajaan Sawitto, dimana kerajaan Sawitto terbentuk pada abad ke 13-14 (ini masih menjadi perdebatan dikalangan sejarahwan). Jadi banjir besar yang dimaksud terjadi sebelum abad 13-14 dan peristiwa kedua penyelamatan raja Sawitto dan permaisurinya oleh To Barani terjadi pada abad ke 15.

Beliau juga mengatakan bahwa pemberian nama Onder Afdeling Pinrang merupakan ketetapan yang dilakukan oleh Belanda yang menjajah Sawitto pada saat itu, jadi ketetapan itu terjadi pada abad 19.  Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kata Pinrang yang diberikan oleh Belanda berasal dari kata Pinra yang mengalami pengaruh intonasi dan dialek bahasa bugis?

Menurutku, mungkin perlu penjelasan ilmiah kenapa bisa Belanda menggunakan kata Pinrang karna tidak mungkin Belanda menggunakan kedua peristiwa yang dijelaskan oleh La Dawa Piazza sebagai dasar untuk meberikan nama Pinrang karna belanda bisa saja tidak mengetahui kedua peristiwa tersebut.

Kalau kita melihat UU penetapan daerah tingkat II sulawesi yg membentuk tingkat II Pinrang yang ditetapkan pada tahun 1959, dimana selisi munculnya kata Pinra pada kalimat “pinra kana'ni tappana datue pole ri gowa” dengan penetapan pinrang sebagai daerah tingkat II sulawesi sekitar 4 abad 15 tahun (sekitar 8-10 keturunan)  dan kata Pinra pada kalimat “Pinra-Pinra Onroang” yaitu peristiwa banjir besar selisihnya sekitar 5 abad lebih karna peristiwa banjir terjadi sebelum terbentuknya kerajaan Sawitto.

Jadi perubahan intonasi kata Pinra menjadi Pinrang pada peristiwa pertama mengalami proses sekitar 5 abad lebih dan pada peristiwa kedua sekitar 4 abad lebih. Menurutku perlu penjelasan yang lebih detail dan komprehenship terkait penamaan Pinrang dari kedua peristiwa tersebut karna kata Pinra yang diliustrasikan pada dua peristiwa yang berbeda sebagai pembenaran untuk penamaan Pinrang terjadi sangat jauh dengan penetapan Pinrang sebagai sebagai daerah tingkat II Sulawesi.

Dalam tulisan La Dawa Piazza juga menyebutkan Pinrang terdiri dari empat gabungan kerajaan yaitu Kassa, Batu Lappa, Sawitto dan Suppa jadi Pinrang bukan hanya Sawitto sederhananya adalah kedua peristiwa tersebut tidak bisa menjadi refresentatif dari ke empat kerajaan yang tergabung dalam Onder Afdeling Pinrang karna pada saat terjadinya kedua peristiwa itu Sawitto, Batu Lappa, Kassa,  dan Suppa belum tergabung dalam Onder Afdeling Pinrang.

Untuk mengetahui Kerajaan yang tergabung dalam Pinrang baik itu secara wilayah kekuasaan ataupun secara kepemimpinan (persetujuan Raja) kita harus membedakan, Onder Afdeling Pinrang yang ditetapkan oleh pemerintahan Hindia Belanda dan Onder Afdeling Pinrang sebagai daerah tingkat II Sulawesi.

Tapi kalau kita melihat Pinrang sekarang daerahnya terdiri dari beberapa wilayah kerajaan yaitu Kerajaan Akkarungan Tungke dan Akkarungan Lili. Akkarungan Tungke terdiri dari 6 kerajaan, 3 dari pecahan federasi Ajatappraeng yaitu Suppa, Sawitto, Alita dan 3 dari pecahan federasi Masenrengpulu yaitu Kassa, Batu Lappa, Letta. Sedangkan Akkarungan Lili yaitu kerajaan yang tergabung dalam masing-masing Akkarungan Tungke seperti Akkarungeng Lili Suppa adalah Bacukiki, Nepo, Bojo dan Palanro.

Semoga coretan kumuh ini bisa menjadi ajang silaturahmi bagi sesama pemerhati sejarah dan kebudayaan pinrang terutama buat daengku malebbie La Dawan Piazza dan Coretan ini juga akan aku kirim ke email Majalah Sastra SALO SADDANG dan berharap bisa diterbitkan pada edisi berikutnya. (hhe)

Coretan ini juga aku buat sebagai bentuk kecintaanku kepada tanah kelahiranku Pinrang dan sebagai Wija To Penrang yang selalu bermimpi untuk mewujudkan masyarakat Pinrang yang adil dan makmur dalam bingkai kearifan lokal. Mudah-mudahan coretan ini bisa bermanfaat sebagai dialektika gagasan sejarah dan kebudayaan Pinrang. Mohon masukan dan kritikan.

-HS’Masagenae

EMILE DURKHEIM : “Tinjauan Kritis Bunuh Diri”

Sumber, australianculturalsociology.wordpress.co
BEBERAPA, tahun silang saat aku masih sering mengikuti forum-forum ke-ilmuan di kampus, aku sering diajak diskusi oleh teman-teman mahasiswa yang mengklaim komunitas mereka sebagai gerakan kiri. Alasan atas pengklaiman tersebut, karna mereka selalu mengkunsumsi wacana pemikir liberal barat seperti Aguste Comte, Herbert Spencer, Marx Webber, Emile Durkheim, Kalr Max dan beberapa tokoh sosial yang lain.

Hal itulah yang mempengaruhi kenapa pejuangan yang mereka lakukan sangat konfrontatif dan hampir semua demonstrasi yang mereka lakukan selalu berujung bentrok dengan aparatus pemerintah (perjuangan ala gerakan kiri).

Hhm, aku bingung sendiri ketika meraka menyebutku sebagai mahasiswa gerakan kanan, mungkin karna aku orangnya tidak terlalu suka belajar teori sosial jadi mereka menyebutku seperti itu. Yah aku memang fobia dengan wacana sosial, olehnya senyumku kepada mereka sebagai ekspresi men-iyakan panggilan itu kepadaku.

Hari ini aku baru saja membaca beberapa buku tentang teori sosial yang membuatku teringat kepada teman-teman mahasiswa gerakan kiri, pernah suatu waktu aku menjadi pendengar setia ketika seorang temanku bercerita panjang tentang otobigrafi dan pemikiran Emile Durkheim dan aku mencoba mengkomparasikanya dengan hasil bacaanku dan mengabadikannya dalam sebuah coretan sebagai proses perjalanan intelektulku. Aku memanggil temanku dengan panggilan Mr.Aco (nama samaran) ia adalah mahasiswa aktivis gerakan kiri.

****

Emile Durkheim, tokoh sosiolog keturunan pendeta yahudi, ia lahir di Etipal Prancis 15 April 1858, sebagai keturunan pendeta ia dituntut untuk belajar menjadi seorang pendeta. Di saat berumur 10 tahun ia diminta menjadi pendeta tetapi ia menolak karna perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang teologis.

Lahirnya pemikiran Durkheim sebagai aspirasi untuk menkritik demonasi positivistic Aguste Comte yang terlalu filoshopis, Comte sebagai peletak batu pertama disiplin ilmu sosiologi ia berhasil membawa pengaruh besar terhadap kontigen intelektual barat, terutama para teoritis sosiologi selanjutnya seperti Hebert Spencer dan Emile Durkheim.

Salah satu karya besar Durkhem ialah “Suicide”1897/1951, (George Ritzer, teori sosilogi modern) buku itu merupakan hasil penelitian empirisnya tentang studi bunuh diri. Ia melakukan penelitian dibeberapa Negara eropa dan megkomparasikan data-data yang ia didapatkan. 

Menurut Durkhem seseorang nekat melakukan bunuh diri bukan karna gejalah-gejalah psikologi, melainkan karna adanya integritas kenyataan-kenyataan sosial kepada kediriannya Durkhem manganggap gejalah bunuh diri sebagai fenomena sosial. 

Meskipun Durkheim tidak sampai menjajal mengapa individu A dan B melakukan bunuh diri, melainkan ia melakukan komparasi, apa faktor external yang mempengaruhi seseorang bunuh diri karna ia menganggap bahwa seseorang yang nekat bunuh diri karna ada sesuatu tekanan sosia dari luar kediriannya (external) yang ia sebut sebagai fakta sosial atau barang sesuatu (thing).

Durkhem menempatkan faktor sosial sebagai alasan yang mendesak seseorang melakukan bunuh diri, ia pun menyimpulkan empat pemicu bunuh diri

1. Egoistik
2. Fatalistik
3. Altruistik, dan
4. Anomik

****

Hikzt, Aku akan mencoba mengingat peristiwa bunuh diri yang pernah diceritakan oleh temanku Mr.Aco berdasarkan apa yang telah disimpulkan oleh Durkhem.
  • Ada seorang mahasiswa yang sangat pendiam, ia memiliki kebiasaan menyendiri dan merenung, kediriannya sangat tertutup dengan mahasiswa lain sehingga ia tidak pernah sama sekali menceritakan setiap masalah yang ia dapatkan. Akibatnya adalah interaksi sosial dengan teman-temannya terputus dan ia pun merasa terkucilkan karna Ia menganggap dirinya terpisah dengan mahasiswa yang lain hal itulah kemudian mendorong Ia untuk mengakhiri hidupnya. Mr.Aco menyebut itu sebagai bunuh diri egoistik (Durkhem).
  • Seorang siswa yang baru saja lulus SMA/SMK dengan mendapat prestasi lulusan terbaik, ketika ia mendaftar di Universitas Negri ternyata predikatnya sebagai lulusan terbaik tidak selaras dengan hasil yang ia dapatkan saat mendaftar di Universitas Negri karna ia tidak lulus, beberapa kali ia mencoba untuk mendaftar kembali akan tetapi hasilnya tetap saja sama yaitu tidak lulus. Karna ekspektasinya sangat besar untuk kuliah di Universitas Negri, hasil buruk itulah yang mengakibatkan ia stres dan memilih untuk mengakhiri hidupnya. Mr.Aco menyebut itu sebagai bunuh diri Fatalistik (Durkhem)
  •  Mr.Aco mengkatagorikan bunuh diri Altruistik (Durkhem) sebagai sifat yang mulia karna mereka mengorbankan dirinya untuk kepentingan masyarakat. Misalnya aktivis kampus yang memiliki kepekaan kuat terhadap ketimpangan sosial sehingga ia rela mati-matian memperjuangkan hak-hak rakyat walaupun ia harus mengorbankan dirinya dengan melakukan aksi bunuh diri seperti membakar diri dan bom bunuh diri di tempat umum.
  • Depresi ekonomi merupakan salah satu penyebab seseorang nekat mengakhiri hidupnya. Mr.Aco menyebutnya sebagai bunuh diri Anomik (Durkhem). Misalnya seorang mahasiswa hedonis yang hidupnya tidak pernah susah dimana kebutuhan ekonominya selalu lebih dari cukup. Ketika orang tuanya terkena musibah dan kehilangan semua harta bendanya, hal itu kemudian berimbas kepada anakya karna kehidupan mewah yang selama ini ia nikmati dari kekayaan orang tuanya tidak bisa lagi ia rasakan, perlahan tapi pasti, musibah itu membuat ia mengalami depresi ekonomi dan memilih untuk bunuh diri.
 
-
"ILUSTRASI" theunutterablebeautyofphrases.wordpress.com
Sekarang aku baru menyesal karna melihat proses pembelajaranku yang sangat lambat, ketertarikanku untuk mempelajari teori sosial baru mekar setelah aku menyelesaikan studi di Kampus Hitam ! dan mulai sekarang aku akan giat membaca buku-buku sosial walaupun kali ini aku agak susah untuk mencari teman diskusi karna semenjak selesai di Kampus Hitam aku putus komunikasi dengan teman-teman gerakan kiri.

Makassar 4/Februari/2014
-HS’Masagenae.

Halaman

Twitter

 
Support : http://sempugi.org/ | Your Link | Your Link
Copyright © 2014. Haeruddin Syams - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger