Foto Saya

Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

“Drama Raja Sawitto dan Raja Lembang Oleh Wija To Penrang KMP-PNUP“




Kain berwarna biru yang terikat dikepalanya beserta sarung yang dipinggangnya menjadikan ia terlihat perkasa, “Iyya’na okkoe bakkalolona Sawitto degage tau mulle jamaka” teriak “Kurniawan (pemeran raja Sawitto) sambil menunjuk ke arah depan dengan melangkahkan kakinya, “teriakan itu seolah menggemakan heningnya malam di desa ta’deang kabupaten Maros. “desiran angin yang dingin seolah tak terhiraukan oleh warga KMP yang asyik menonton, “Nampak tawa tipis mereka menyaksikan sang raja yang sangat percaya diri.
 
Tak lama berselang “Patando (pemeran raja Lembang) unjuk gigi “wha..haa.haa.. “ketawa kejam, menantang, sembari menujuk wajah raja Sawitto Apa mu’pau ngena !? joo’o ku’kilajako “Seru, “raja Lembang, menantang raja Sawitto untuk berduet. Kemudian  terjadi adu mulut di antara mereka yang berujung kepada pertarungan, “keduanya pun mencabut kris-nya untuk mengadu kehebatan satu sama lain.  Akhir dari drama “raja Sawitto memenangkan pertarungan dan mengajak raja Lembang untuk berdamai untuk bersama-sama membangun Pinrang kedepan.

Deskripsi singkat drama raja Sawitto dan raja Lembang setelah aku selesai menonton video-nya, “karya peserta kaderisasi “Pengenalan Organisasi Daerah Kerukunan Mahasiswa Pinrang Politeknik Negeri Ujung Pandang (PLOD 14 KMP-PNUP), silahkan nonton videonya yang ada di atas.

***

Rasa sesal masih terbayang dalam diri-ku karna tidak bisa melihat lansung drama itu, aku hanya menonton lewat video yang baru saja aku copy dari “Yudhi salah satu joniorku di KMP. Meskipun demikian aku merasa sangat bangga kepada mereka karna senantiasa menanamkan nilai-nilai kedaerahan sebagai "Wija To Penrang" dalam kegiatan kaderisasi. “saat aku selesai melihat video’nya, aku mendapat pembelajaran yang sangat bermanfaat “bahwa kita sebagai warga Pinrang harus meretas gesekan etnit yang sering terjadi, karna terkadang kita masyarakat Pinrang begitu tersekat oleh perbedaan itu sangat jelas terlihat jika di antara kita berbicara menggunakan bahasa masing-masing. 

Dari sini kemudian aku baru menyadari bahwa organisasi daerah merupakan wadah yang sangat ideal untuk menanamkan benih-benih kebudayaan lokal kepada generasi muda agar tidak tertelan oleh laju modernisasi yang berusaha menggeser kekayaan kearifan lokal yang kita miliki. Yaa, organda (organisasi daerah) adalah salah satu tameng untuk membentengi hegemoni budaya barat, korea, india, jepang, dan lainnya yang mereka kempanyekan lewat film-film yang tersebar sampai pelosok bumi melalui media elektronik. Sungguh ironis jika kita pemuda/i bangsa ini begitu membanggakan budaya luar sementara disisi lain budaya kita sendiri hampir terhapus oleh zaman.

Semoga pembelajaran “budaya” yang diajarkan kepada re-generasi KMP-PNUP bisa menjadi amunisi bagi mereka, agak kelak mereka menjadi volunteer untuk membangun kampung halaman tercinta seperti ikrar raja Sawitto dan raja Lembang pada akhir drama, mudah-mudahan ikrak itu bukan hanya lagiah belaka. 



Catatan : 
  • “Iyya’na okkoe bakkalolona Sawitto degage tau mulle jamaka” ( saya disini pemudanya Sawitto, tidak ada satupun orang yang bias mengalahkan saya) 
  • “Apa mu’pau ngena !? joo’o ku’kilajako (apa tadi yang kau katakana !? saya tidak takut)
  • Wija To Penrang (Keturunan orang pinrang)
  • Sawitto dan Lembang (Nama kerajaan di Pinrang)
Makassar, 8/Desember/2014

“Wahh! Ada Batu “Meringkik” di Kota Pare-pare

Dari kiri, Saha, Cinta, 2 warga setempat, We Aje, HSM, Fahrul

AWALNYA, aku beranggapan mustahil  ada sebuah batu yang bisa meringkik (mengeluarkan suara seperti kuda), Hah!? “mana bisa batu mengeluarkan suara seperti itu apa lagi suara yang dikeluarkan meringkik, paling hanya mitos belaka, “candaku, kepada seorang kawan yang lagi duduk di sampingku, Saha. “Ia melanjutkan ceritanya tentang batu tersebut dan berusaha meyakinkan-ku dengan wajah yang amat serius.

Entah kenapa sajian cerita panjang Saha, membuatku penasaran, “Ayo deh kita sana untuk melihat batu itu! ajakku….. Saha, “menganggukkan kepala,  meng-iya-kan ajakanku. Kami pun berangkat ke lokasi setelah menunggu, hingga sore hari. “aku juga ditemani oleh Ka Cinta, karna Ia sudah janji kepadaku untuk menelusuri kebenaran misteri batu meringkik itu saat aku menelponya sebelum aku datang ke Pare-pare.

*****

Tepat di depan papan nama yang hampir rebah, bertuliskan “Objek Wisata Bacukiki”, kami berhenti, “terlihat dibelakangnya sebuah batu besar berwarna hitam penuh semak disekelilingnya, nampaknya situs sejarah itu tidak terawat dengan baik. Ka Cinta menyalakan motor sambil berkata, “tunggu sebentar aku pergi mencari seseorang yang bisa kita jadikan informan tentang batu itu. “Aku dan Saha senyum, iyya “jawabku. Kami pun pergi mengambil gambar batu itu, “sambil menunggu…

Saat sedang menunggu, “kring..kring, HP-ku berbunyi, “halo kenapaki sappo (kawan), “tanya-ku ditelpon? “aku menuju kesana, “jawab kawanku, Fahrul. “Tak lama Ka Cinta pun datang hampir bersamaan dengan kedatangan Fahrul setelah setengah jam yang lalu aku bicara dengannya di HP. “kemudian kami pergi menjemput seseorang, “namanya We Ajare Mallo, “seru, ka Cinta.”aku tadi diarahkan kesana oleh Sudirman, “warga setempat yang sudah ia tanyai. katanya “jika ingin mengetahui sejarah batu itu silahkan tanya lansung kepada “We Ajara Mallo karna ia satu-satunya orang yang mengetahui sejarah batu itu di kampung ini.

KAMI, “Saha, ka Cinta, Fahrul, dan We Aje telah berkumpul pas di depan halaman batu. “hanya bermodalkan satu pertanyaan untuk membuat We Aje menjelaskan panjang lebar sejarah batu yang meringkik itu, “Pa, kanapa batu itu dinamakan Batu kikik ? “tanyaku kepada We Aje. “Dahulu, sebelum kerajaan batu kikik dijajah oleh belanda, batu ini merupakan simbol kebesaran dan eksistensi-nya, karna batu ini bisa mengeluarkan suara yang menjadi indikasi bahwa akan terjadi bencana di kampung ini, itulah sebabnya kenapa warga setempat sangat mensakralkannya. “jawab We Aje…

Entah kenapa batu itu bisa bersuara demikian, tapi kami mempercayai kebenarannya. “aku sendiri pernah mendengarkan suara kikik itu dan menyaksikan lansung bencana yang terjadi, setelah beberapa hari batu itu berbunyi. Namun sekarang orang lebih mengenalnya dengan nama bacukiki, “We Aje melanjutkan penjelasannya. Tapi “Batu kikik” adalah nama sebenarnya, “ceritanya berawal ketika warga bulu roangnge (gunung luas) hijrah ke tempat ini, saat mereka mendengarkan batu itu meringkik, dari situ-lah mereka menyebutnya dengan nama batu kikik (batu yang mengeluarkan suara “kikik” seperti kuda).

Seiring berjalannya waktu warga yang datang dari bulu roangnge pun menetap di sekitaran batu itu dan membentuk sistem sosial yaitu sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang Arung, tepatnya Arung Batukikik. Entah itu hanya kebetulan, “Saat batu itu berbunyi tak lama berselang akan terjadi sebuah bencana, bunyi “kikik batu itu menjadi indikasi bahwa akan akan terjadi satu bencana, “yang pertama  apakah itu Arung batukikik akan meninggal, kedua “berupa penyakit kolera “semacam penyakit menular yang akan menjangkit semua masyarakat. ketiga “akan terjadi kebakaran besar di kampung ini. Wah!? “aku terhenyak mendengarkannya, sepertinya kami terlarut dalam cerita We Aje.

Kira-kira besar batu itu seperti mobil xenia, warnanya hitam pekat dan  ber-bintik-bintik putih. Terdapat dua batu disana, yang satunya agak lebih besar, di antara kedua batu terdapat celah semacam ruang kosong kecil karna kedua batu itu tidak berimpitan. Kemungkinan ketika angin kencang berhembus dan melawati celah itu, hingga bisa mengahasilkan suara me-ringkik. “potong Fahrul saat We Aje lagi terdiam sembari menunjuk ruang kosong diantara kedua batu. Yaa, bisa saja penjelasan fahrul benar meskipun kepercayaan We Aje bahwa suara kikik itu terjadi secara mistik, bisik-ku dalam hati. Entahlahh……


Betemu Seorang Budayawan di Desa Alitta

Dari kiri, Jihad, HSM, Chindang, Rafi
KALI, ini aku mencoba untuk mempelajari budaya dengan datang lansung untuk berdiskusi dengan seorang budayawan. Tak jauh dari ibu kota kabupaten Pinrang Sekitar duapuluh km arah selatan tepatnya di desa Alitta aku pernah berkunjung di sana untuk bertemu dengan seorang Budayawan namanya Daeng Chindang (Daeng = panggilan orang yang lebih tua dari kita). Aku kesana guna melakukan pendataan objek wisata alam/budaya/sejarah, seniman, lagu tradisional no name, petuah bijak bugis dan budayawan. Kegiatan ini merupakan program Sempugi yang bekerja sama dengan cipta media celuler untuk memproduksi Walppaper Objek wisata lokal dan ring tone lagu tradisional.

Di desa Alitta terdapat banyak situs sejarah/budaya, tapi hanya dua yang bisa aku akses, yakni Sumur Manurung Lapakkita dan Bujung Pitue. Keduanya sudah dikelolah oleh pemerintah setempat. Namun situs lainnya seperti makam para Arung (pemimpin) Alitta tidak terawat sampai tidak bisa teridentifikasi berhubung Alitta dulunya adalah sebuah kerajaan jadi disana terdapat banyak makam raja. Nama Alitta sendiri berasal dari kata Aditta (Adek kita) karna Alitta dulunya bagian dari konfederasi lima kerajaan Ajatappareng yaitu Sawitto, Sidenreng, Rappang, Suppa dan Alitta yang paling bungsu jadi di beri nama Aditta. Tapi Aku belum mendapatkan penjelasan kenapa bisa terjadi perubahan kata dari Aditta menjadi Alitta. Mungkin saja karna persoalan okkots ! hhhe

Situs lainnya berupa mesjid tua, tapi sayang kini bangunannya sudah roboh. Di lokasi aku hanya menemukan batu reruntuhannya. Aku coba menulusuri penyebabnya! Namun kata daeng Chindang “dek mesjid itu sengaja diruntuhkan karna dipindahakan ketempat lain” sempat sih kami pergi memcari imam mesjid guna menelusuri lebih jauh tentang mesjid tersebut akan tetapi ia tidak ada di rumah. jadi hanya sebatas itu informasi yang aku dapatkan. “Aku tiba-tiba teringat cerita salah seorang teman katanya “bukti-bukti penyebaran islam yang ada di jazirah Sulawesi selatan sangat susah untuk ditelusuri alasannya, "ada kesengajaan yang dibuat oleh oknum tertentu untuk menghilangkannya. ‘Yahh, mungkin saja mesjid tua di Alitta juga demikian. “Entahlah…

*****

Sehari aku di Alitta, aku banyak disapa oleh masyarakat Alitta yang baru pertama kali aku temui meskipun hanya senyuman tapi begiulah mereka menyambut orang baru, warga disana sungguh sangat ramah. Budaya lokal inilah yang hilang di wilayah perkotaan tanah bugis, mereka sangat sibuk untuk memperkaya diri sendiri sampai tetangganya sendiri pun meraka terkadang tidak mengenalnya. Di mall perkotaan aku sering melihat senyum orang-orang yang telah diperjakan oleh para kapitalis, mereka menyapa pelanggangnya dengan senyuman hanya karna tuntutan profesi sangat berbeda dengan senyum yang aku lihat di desa Alitta. Menurutku jika kita ingin mengetahui lebih jauh tentang kebudayaan suatu etnis maka kita harus turun lansung untuk mempelajarinya dan menjadi bagian dari kebudayaan itu.

Entah kenapa pemberitaan tentang “kebudayaan” selalu saja diidentikkan dengan tari dan musik. Seolah-olah budaya hanya bisa dipelajari melalui kedua instrument tersebut. Media menggambarkan "budaya" hanya  sebatas musik dan tari untuk kepentingan komoditi mereka.

Namun berbeda dengan pembelajaran “kebudayaan” yang aku dapatkan selama di Alitta bersama daeng Chindang. Kebudayaan yang belum pernah aku lihat di eksplorasi oleh media. Kebudayaan yang tidak sesempit ber-seni dan ber-musik. Akan tetapi “Budaya” tentang keramahan masyarakat bugis bertutur, “budaya” bagaimana mereka sangat mendahulukan ahklak ketika berkumunikasi, “budaya” tentang pesse (kebersamaan) bagaimana mereka begitu peka dengan penderitaan orang lain. “budaya” bagaimana mereka sangat menghormati sesamanya, “Budaya” bagaimana mereka akan senantiasa mengingatkan satu sama lain dalam bahasa bugis disebut Sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge’

Ehmm, Apa pendapat kalian tentang "budaya"?

Fatimah Az-Zahra : Sosok Inspirasi Istri yang Baik

“Sebaik-baiknya istri adalah Fatimah Az-Zahra 
dan Sebaik-baiknya suami adalah Ali Bin Abu Thalib”

Kalimat di atas masih hangat dalam ingatanku, kalimat yang pernah aku dengar dari salah seorang penceramah dalam majelis khotbah jum’at. Berawal dari ceramah itu aku lalu menelusuri sosok buah hati Rasulullah Saw. 

Aku mendatangi beberapa toko buku guna mencari referensi yang menuliskan tentang biografi beliau dan meminjam koleksi buku Fatimah Az-Zahra dari teman. Sebagai orang yang memimpikan istri ideal mungkin semua laki-laki akan melakukan hal sama denganku.

*****
Wajah cerah itu terlihat sangat bahagia menyambut kelahiran sosok buah hatinya, wajah manusia mulia “Muhammad bin Abdullah dan Khadijah binti Khuwailid terlihat sangat bahagia dengan kelahiran Fatimah Az-Zahra. Sang bayi lahir dengan memancarkan cahaya dan tidak satu pun tempat di bumi, di sebelah timur maupun barat yang besinar seperti cahaya itu. 

Bayi lahir dalam keluarga mulia, bayi yang dididik dalam madrasah islam, bayi yang setiap harinya mendengarkan lantunan wahyu dari kedua orang tuanya, “begitulah gambaran kelahiran Fatimah Az-Zahra yang digambarkan seorang yang menulis tentang pribadi Fatimah Az-Zahra yang aku baca dari buku yang aku beli.

Tahukah kalian apa yang menjadikan Az-Zahra sebagai istri teladan bagi kaum muslimat ? Ali Bin Abu Thalib Ra sering memuji ahklak beliau, sebagai seorang istri ia sangat tekun mengurusi rumah tangganya.

Pernah satu ketika Ali Ra berkata kepada Rasulullah saw, bahwa Fatimah selalu mengambil air sehingga menimbulkan bekas luka didadanya, suka menggiling gandung sehingga bengkak tangannya, suka membersihkan rumah sampai berdebuh pakaiannya, dan suka menyalakan api di bawah periuk sampai kotor pakaianya.

Bukan cuman urusan rumah tangga Fatimah juga selalu menjadi orang yang senantiasa memberikan semangat kepada suaminya, memuji keberanian dan pengorbanannya untuk menegakkan agama Allah. 

Ia menghilangkan sakitnya, membuang keletihannya, sehingga Ali Ra mengatakan “ketika aku memandangnya, hilanglah kesusahan dan kesedihanku” Az-Zahra juga adalah istri paling taat kepada suaminya, tak pernah sekalipun ia keluar rumah tanpa izin suaminya, tidak pernah ia membuat suaminya marah walau satu hari pun. Ia sadar betul bahwa Allah tidak akan menerima perbuatan seorang istri yang membuat marah suaminya sampai si suami rida terhadapanya.

Sebaliknya, Az-Zahra juga tidak pernah marah terhadap suaminya, ia tidak pernah berdusta di rumahnya, tidak pernah berkhianat terhadap-nya, tidak pernah melawannya dalam urusan apa pun. Kata Ali Ra, “aku tidak pernah marah ke-padanya dan tidak pernah menyusahkan-nya sampai ia wafat, ia juga tidak pernah membuatku marah dan tidak pernah menentangku dalam urusan apa pun. 

Selain itu ia juga adalah istri yang paling taat beribadah sampai-sampai kedua lututnya bengkak karna saking seringnya ia bersujud.

Salah seorang putranya Hasan bin Ali pernah bercerita “aku melihat ibuku bangun di-mihrabnya pada malam jumat, dan ia terus rukuk dan sujud sampai terbit subuh. Aku mendengar ia mendoakan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. 

Ia banyak mendoakan mereka, dan tidak berdoa sesuatu pun untuk dirinya sendiri. Maka aku bertanya kepadanya, ‘Ibu, mengapa engkau mendoakan orang lain? ‘Ia pun menjawab, ‘anakku, tetangga dulu baru kemudian rumah sendiri.”

Selain urusan rumah tangga, dan ibadah Az-Zahra juga merupakan istri yang cerdas, dalam riwayatnya Aisyah pernah berkata, “Belum pernah aku melihat seorang pun yang lebih benar bicaranya dibanding Fatimah, kecuali ayahnya. 

Dan ia juga istri yang sangat demawan, pernah suatu ketika Rasulullah bertemu dengan seorang tua, ia berkata ‘Wahai Nabi Allah, aku sedang lapar berilah aku makan. Rasulullah berkata pergilah tempat Fatimah! Dengan arahan rasulullah Bilal pun bersegerah mengantarkannya ke rumah Fatimah. 

Sesampai di sana orang tua itu kemudian menyampaikan keperluannya “wahai Putri Muhammad, Aku seorang arab yang tua, aku tidak mempunyai pakaian dan dalam keadaan lapar, maka tolonglah aku, semoga Allah menyayangimu.

Saat itu, Fatimah besertanya keluarganya sudah tiga hari tidak makan karna tidak memiliki makanan, oleh karena itu Fatimah lansung mengambil kalung yang ada dilehernya lalu memberikannya kepada orang tua itu sambil berkata “Ambillah ini, dan juallah. kemudian kalung itu ditukarkan dengan roti, daging dan burdah (kain) kepada salah seorang sahabat Rasulullah yaitu Ammar bin Yasir.

Saking banyaknya kebaikan yang telah ia lakukan hingga lembaran kertas pun tak-kan cukup untuk menuliskannya. Mungkin kebanyakan orang muslim tidak meng-idola-kan sosoknya karna catatan sejarah tidak begitu banyak mengukirnya dalam sebuah buku, diantara toko buku yang aku datangi hanya sedikit diantaranya yang menjual buku tentang beliau, yah paling tidak aku mempunyai koleksi buku "Fatimah Az-Zahra".

Ehm, Setelah aku membaca beberapa buku tentang Fatimah Az-Zahra, aku berkesimpulan bahwa sebaik-baik-nya istri adalah mereka yang paling taat beribadah dihadapan Allah, istri yang mencintai dan menyayangi suami hanya karna Allah, istri menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah semata seperti yang tercerminkan pada pribadi agung Bunda Fatimah Az-Zahra.


Pengabdian Seorang Musikolog Tradisional

kiri Pa Haris, kanan HSM
SAYA heran dengan siswa masa kini mereka nampaknya tidak senang belajar seni, apalagi kalau pelajarannya tentang seni budaya lokal mereka akan acuh untuk mengikutinya. Sebuah sekolah dasar di kecamatan duampanua kabupaten Pinrang rata-rata muridnya buta akan kesenian tradisional. Mungkin salah satu penyebabnya adalah pengaruh musik modern ditambah lagi kurikulum sekolah yang sudah tidak intens menyajikan pelajaran seni “tutur Pa Haris kepada saya. Pa Haris adalah seorang kepala sekolah SD 46 lampa kecamatan duampanua, dulunya ia seorang guru seni dan sempat menjadi guru saya waktu masih duduk di sekolah dasar. Selain berprofesi sebagai guru ia juga seorang musikolog dan memiliki grup musik tradisional.

SIMPONI adalah nama grup musiknya, walaupun hanya sekedar hobi Pa Haris beserta pesonil simponi sering mengisi acara hiburan yang ada dikampung saya. Memainkan seruling merupakan keahliannya, saat ia meniup seruling penontong akan terkesima mendengar lantunan irama yang ia mainkan. Saat ia masih menjadi guru saya, tidak hanya memainkan alat musik tradisional yang ia ajarkan, ia juga melatih kami seni gambar, seni rupa, seni suara dan seni tari bagi teman-teman saya yang perempuan bahkan kami juga sempat diajarkan bagaimana cara membuat alat musik tradisional, yang luar biasanya lagi Pa Haris juga bisa memainkan semua alat musik tradisonal meskipun tidak se-fasih ketika ia memainkan seruling.

Dulu Pa Haris juga sempat menjadi pelatih seni musik siswa-siswa yang akan mengikuti perlombaan di luar daerah. Siswa perwakilan kabupaten pinrang yang diutus sebagai peserta festival musik tradisional yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota tiap tahunnya. Sudah banyak anak didik Pa Haris yang meraih juara hingga juara satu akan tetapi ia tidak pernah mendapatkan apresiasi dari apa yang dilakukannya. Meskipun demikian ia tetap setia mengajar siswa-siswa jika ada pertandingan antar kabupaten.

Beberapa minggu yang lalu saya beserta kawan Rafiq menyempatkan diri datang kerumah Pa Haris guna belajar memainkan kecapi yang baru saja kami beli. “Selamat sore, sapa saya. Tampaknya Pa Haris lagi sibuk membersihkan halaman rumah. Iyya, Sore Nak” jawabnya. Mungkin karna ia melihat kami membawa kecapi spontan ia menyuruh kami masuk ke rumah dan ia rela meninggalkan pekerjaannya untuk menyambut kami. Seperti biasa ia selalu peka jika ada orang yang ingin belajar bermusik, baik itu di ruang kelas maupun di rumah tempat ia beristirahat. Yaah itulah yang membuat saya tidak pernah melupakan sosok-nya.

Setelah ia mengetahui tujuan kami, ia lansung menjelaskan dasar-dasar bermain kecapi dan bercerita tentang perbandingan pemain kecapi dulu dan sekarang, katanya pemain kecapi dulu susah untuk mengajar generasi muda karna mereka memainkan kecapi tanpa memakai note (irama kecapi) Pakkacapi Getti Lampa julukan kepada pemain kecapi dulu, mereka memainkan kecapi sambil melantunkan cerita dan petuah bijak bugis. Saya sempat merekam demo ia sedang berkecapi sebagai bahan bagi saya belajar di rumah.

Walaupun kini Pa Haris sudah menjadi kepala sekolah, ia tetap selalu memainkan serulingnya, kecintaannya terhadap seni tradisional tidak pernah hilang dan ia senantiasa membimbing orang-orang yang ingin belajar. Tak banyak dari generasi sekarang yang punya hobi seperti Pa Haris. Kesedihan tampak dari raut wajanya, mengingat hampir-hampir tidak ada generasi muda yang bisa memainkan alat musik tradisional. Beberapa siswanya pun di sekolah susah untuk belajar karna kurangnya pendidik di bidang seni. Namun spiritnya untuk melestarikan kesenian tradisional tidak pernah pudar. Disisa usianya ia sangat berharap bisa melihat seseorang yang mau meneruskan apa yang telah ia perjuangkan selama ini..

Baca juga di sempugi.org

Memancing ; Meditasi Untuk Melatih Kesabaran

Haeruddin

Tiap kali saya mendengarkan ceramah-ceramah baik itu di mesjid mau pun di tv, hampir semua penceramah selalu menyampaikan masalah kesabaran. Bahwa sabar merupakan salah satu indikator kemanusian seseorang. Jika kita pernah menelaah sejarah islam maka kita akan menemukan betapa para Nabi memiliki kesabaran yang sangat luar biasa, mereka adalah orang-orang yang mulia berkat kesabaran yang mereka miliki dan itulah yang menjadikan mereka istimewa disisi sang Pencipta. 

Setiap lantunan doa, saya tak pernah bosan untuk meminta agar diberikan kesabaran sebagai orang yang meneladani Nabi maka seharusnya kita harus mencontoh mereka, mungkin hampir semua orang juga begitu! namun pernahkah kalian berpikir bahwa memancing merupakan meditasi untuk melatih kesabaran ?

Haeruddin dan Kak Nawa
Kemarin merupakan pengalaman pertama saya memancing, saya diajak oleh teman untuk memancing dirumahnya. Awalnya sih cuman ingin melihat-lihat saja maklum saya tidak punya pengalaman apa lagi saya juga tidak punya pancing. Akan tetapi setelah saya menikmati makan siang dari hasil pancingan teman, saya berubah pikiran dan mencoba juga untuk memancing. 

Saya melihat teman yang begitu menikmati ikan yang ia tangkap, katanya ada kenikmatan tersendiri ketika kita memakan ikan hasil pancingan sendiri. Ehmm saya hanya tertawa kecil sambil ikut melahap ikan. Yahh kenikmatan yang saya rasakan mungkin karna lapar, berbeda dengan yang dirasakan oleh teman saya.

*****

Pemancing pemula biasannya akan menjadi bulan-bulan-an, kenapa demikian ? Yah namanya pemula pastilah pertanyaannya kita banyak sekali dan itu bisa mengganggu kosentrasi pemancing disekitaran kita dan dengan penuh candaan kita akan ditertawi oleh teman-teman kita, begitulah kondisi saya saat itu dan dari situlah bermula kesabaran kita diuji. 

Dengan pengetahuan pas-pas’an saya begitu pede melempar umpan ke air. Tak membutuhakan waktu yang lama saya lansung "strike" spontan saya berteriak sambil melompat-lompat gembira menyambut tangkapan pertama saya. Hore-hore-hore,,, saya "strike”

Tampaknya ikan memakan umpan saya adalah ikan patin jenis ikan berkumis yang termasuk dalam genus Pangasius, familia Pangasiidae. Nama "patin" sendiri disematkan dari salah satu anggotanya, P.Nasutus. disini ikan Patin menjadi incaran semua pemancing yang datang pokoknya mereka tidak akan puas kalau belum bisa mendapatkan ikan itu. 

Bagaimana saya tidak bangga dengan tangkapan pertama saya. Namun saat saya lagi berkosentrasi untuk menarik ikan patin saya, tiba-tiba senar pancingnya putus, wajah yang tadinya begitu gembira pun berubah menjadi kesedihan sambil mengelus-elus dada dan berkata, “Sabbaki ati” (sabar yah hati).

Bayangkan jika tangkapan pertama kalian lepas ditengah-tengah orang yang lagi memancing! Saya membayangkan masuk surga sejenak kemudian dilemparkan ke neraka, saking sakitnya sampai hari ini masih terasa. Tapi setelah itu saya tidak menyerah saya tetap mencoba untuk mendapat tangkapan berikutnya. 

Tahukah kalian! duduk diam berjam-jam sambari menunggu ikan memakan umpang kita adalah pekerjaan yang sangat membosankan, yahh bagi saya itu sangat,sangat, sangat membosangkan. Apalagi jika kita tidak mendapatkan hasil satu ikan-pun hingga kita selesai memancing, itulah yang saya alami.

Namun dibalik itu saya memperoleh banyak pembelajaran, bahwa proses se-harian belajar mancing bersama teman-teman (Ka Nawa dan Camrun) adalah meditasi untuk melatih kesabaran saya. Mungkin Tuhan mengabulkan doa saya melalui proses ini. Mungkin apa yang saya alami sifatnya kasuistik jadi tidak semua orang akan mengalami itu, tergantung dari kepribadian masing-masing orang, ujian tuhan untuk melatih kesabaran seseorang pasti berbeda tergantung dari kualiatas jiwanya tidak mungkin orang yang kapasitasnya seperti Nabi diuji dengan meditasi mancing, akan teapi saya menyarankan bagi kalian yang ingin menguji kesabarannya silakah pergi mancing.

Makassar 28/November/2014

Penjaga Adat Ditengah Modernisasi Kota Makassar, A’RAPPO TIDUNG MARIOLO

Gapura Jalan Tidung Mariolo
KEMARIN saya baru saja mengikuti salah satu ritual adat, untuk kesekian kalinya saya mengenal seseorang menggunakan jaringan budaya. Dia adalah Ari, salah satu warga asli Tidung Mariolo, dari penuturannya penduduk yang tinggal di wilayah itu moyoritas pribumi, sehingga pendatang yang bermukim di sana mudah untuk dikenali. Gara-gara Modernisasi domain Kerajan Tidung kini susah untuk identifikasi sekarang hanya menjadi nama sebuah jalan. Tepatnya di depan lorong masuk terdapat papan nama jalan Tidung Mariolo. meskipun demikian beberapa warga setempat masih tetap menjunjung tinggi adat mereka.

Kampoeng pejuang adalah julukan kampung Tidung Mariolo. Terlihat jelas di Gapura jalan masuk tertulis “Salamaki Battumae Rikampong Bersejarah Tidung Mariolo Markas Pejuang 45” saya tidak menyangka Kota Makassar yang dipadati dengan bangunan mewah dan sangat identik dengan acara eksotis terdapat komunitas yang menjaga adat mereka dengan melakukan acara adat satu kali dalam setahun, tepatnya di bulan Muharram. Saking dijaganya acara adat ini tidak dipublikasikan keluar dan pesan pemimpinnya bahwa dokumentasi yang didapatkan hanya bisa menjadi koleksi pribadi jangan di up load di media sosial, itulah kenapa foto yang saya pasang ditulisan ini hanya foto Gapura. Dan tulisan yang saya buat terlebih dahulu meminta izin dan saya hanya mendapat informasi tentang acara ini dari Ari bukan dari pemimpinya lansung mungkin karna saya orang baru. hhhe

A’rappo acara adat tahunan yang dilakukan masyarakat Tidung Mariolo, sebagai rasa syukur atas berkah yang mereka dapatkan dan menjadi doa agar kedepan bisa lebih banyak lagi. Dalam bahasa makassar A’rappo artinya “berbuah”, ibaratnya harapan masyarakat bisa berbuah layaknya pohon sehingga buahnya bisa dinikmati oleh semua orang. Walaupun tidak banyak orang yang berpartisipasi akan tetapi mereka yang hadir sangat antusias mengikuti semua item acara. Mayoritas dari mereka pun adalah orang yang sudah berkeluarga karna anak muda disana sangat jarang mau mengikutinya “tutur Ari kepada saya.

Selain untuk mengucapkan rasa syukur dan doa dalam acara ini juga terdapat pesan-pesan simbolik. Seperti bendera yang memiliki ukiran naga berwana kuning keemasan yang perlihatkan pada saat acara berlansung merupakan moment sakral dan utama. Masyarakat mempercayai bahwa lubang yang terdapat di bendara itu merupakan indikator bencana-bencana alam yang akan terjadi kedepan. Semakin banyak lubang maka semakin banyak bencana yang akan menimpah, untungnya lubang di bendera tidak bertambah kata Ari kepada saya. Saya merasa sangat sedih karna belum sempat mendapatkan penjelasan kenapa lubang itu bisa bertambah. Karna setelah selesai acara adat bendera itu dibungkus kain sebanyak empat lapis dan disimpan baik-baik, nanti muharram tahun depan baru dibuka lagi. Mungkin saja bendera itu dilubangi secara mistik, Entalah.....!!!

Spirit Primordial Alunan Musik di Malam Hari Desa Alitta

Senyum ceria itu selalu ku-ingat saat bertemu dengannya, saat pertama kali aku datang kesini wajah itu lansung menyapaku dan tesimpan erat di memori ingatan'ku. Walaupun itu pertemuan pertama kami setelah sekian lama aku mengenalnya di sosial media lewat grup facebook Sempugi (Grup pemerhati Sejarah/Budaya Sul-Sel-Bar). Ia adalah Daeng Cindang sapaan akrabnya, ia merupakan penanggung jawab untuk menjaga dan merawat situs sejarah Sumur Munurung La Pakkita di desa Alitta kabupaten Pinrang.

Cerita rakyat Alitta yang terjaga secara turun tumurun bahwa sumur itu khusus dibuatkan untuk seorang bidadari yang pernah tinggal di Alitta Pada masa kepemimpinan Arung La Massora dan cikal bakal Arajang dari kerajaan pun dari sana, ketika Sang bidadari mallajang (menghilang) dan meninggalkan selendangnya di Alitta. Selendang itulah kemudian menjadi Arajang yang setiap satu kali dalam lima tahun di cera".

Ini merupakan kedua kalinya aku berkunjung di rumah Daeng Cindang, Aku tiba di Desa alitta sekitar jam tujuh malam bersama dengan Sureng Sempugi Bang Darsam dan Rafi. Kami di jamu sangat istimewah, baru beberapa menit kami duduk istirahat tiba-tiba lansung dipanggil makam malam. Wahh asyik, Daeng Cindang orangnya pengertian, sangat paham bahwa kami lapar setelah melewati perjalanan Makassar-Pinrang selama kurang lebih lima jam dan memang sih budaya masyarakat Bugis begitu.

Mereka selalu memberikan yang terbaik kepada orang yang datang bertamu kerumahnya, siapa pun itu. Walupun sekarang telah mengalami distorsi gara-gara perubahan sratafikasi sosial yang diakibatkan oleh jabatan struktural di pemerintahan, beberapa diantara meraka selalu ingin diperlakukan lebih saat datang ke desa-desa sebagai seorang pejabat pemerintah. Entah kenapa juga meanset masyarakat sekarang ini terkonstruk seperti itu.

Malam pertama kami diajak kerumah kepala desa tempat yang menjadi titik setrum pesta adat maccera Arajang. Kata daeng Cindang biasanya yang menjadi kepalah desa di Alitta, ia akan menjadi penanggung jawab acara adat dan harus bersedia rumahnya dijadikan sebagai tempat pesta berlansung sebelum inti dari mecceara arajang itu dialihkan ke rumah adat Alitta sekaligus menjadi tempat penyimpanan Arajang.

Panggung Musik
Alat Musik Ana' Beccing, Lea-leang, Kancing
Penabuh Gendang
Suara musik khas bugis yang pernah aku dengar waktu mengikuti perayaan yang sama di desa Umpungeng Kabupaten Soppeng kini kembali mengguma ditelingaku. Cuman konten acarnya saja yang berbeda. Tapi yang tetap sama adalah nadanya yang memberikan spirit tersendiri bagiku selaku orang bugis yang cinta dan bangga dengan karya lokal yaitu budaya bugis. Gerakan tangan mereka begitu lincah memainkan alat musik, tidak kalah hebat oleh musisi tren era modern.

Di dalam rumah Pa desa dibuat seperti panggung, terdapat pembatas bagi para pemusik jadi selain mereka harus berada di luar. Yahh meskipun tidak dipoles se-gramor panggung pentas yang biasanya ditampikan di tv, maklum ini bukan untuk kepentingan komersil akan tetapi lebih kepada nilai-nilai humanisasi dan untuk menjaga kelestarian adat.

Aktor lantunan irama terdiri dari sepuluh orang dan masing-masing dari mereka sangat fasih memainkannya laksamana seorang maestro. Karna alat musik yang digunakan beragam jadi perlu keahlian berbeda untuk menggunakannya walaupun ada satu dua pemusik yang lihai dengan semuanya. Alat musik tradisional yang dipakai adalah tiga gendang, dua lelea, dua kancing, dua ana' beccing dan satu buah gong.

Sepintas, nampak ada alat musik yang dimainkan lebih dari satu orang, Yah ada tiga penabuh gendang akan tetapi ritme pikulan gendang diatur berbeda dan walhasil lantunan musiknya pun membuat kami tidak bosan mendengarkannya. Sama halnya dengan band pop yang memiliki tiga gitaris dengan melodi berbeda yang bisa menghipnotis pemuda/i yang katanya mereka generasi anak gaul.

Warga setempat pun begitu menikmati alunan musik itu, terlihat tawa ceria yang terpancar dari wajah mereka karna larut dalam iramanya. Menurutku inilah nasionalisme yang sesungguhnya ketika semangat masyarakat berkobar karna bangga dengan adat dan budaya mereka. Aku tiba-tiba teringat demonstrasi yang pernah kulalui, dengan semangat nasionalis kami melakukan penolakan kebijakan pro asing.

Nanti belakangan ini aku berpikir, apa sih yang kami maksud dulu nasionalisme? Tohh negara ini terdiri dari ratusan suku/bangsa dimana mereka mengekspresikan nasionalismenya dengan caranya masing-masing. Yah tidak semua dari kita bisa cinta negara ini hanya dengan mencium bendera merah putih seperti beberapa tokoh nasional. Karna beberapa di antara mereka mengaktualkannya dengan cara menjaga adat dan kebudayaannya sehingga nasionalisme itu bisa membara. ehm, menurutku sihh itu harga mati! Bagaimana dengan anda?

Ada banyak hal yang berbeda dari musik tradisonal yang sering didendangkan dalam rangkaian pesta adat bugis dengan musik meanstreme pop/rok kontemporer. Salah satunya adalah internalsisasi spirit primordial yang bisa membakar semangat perjuangan anti budaya asing di selah-selah keberagaman republik ini.

Dengan itu kita bisa membangun integritas dibalik perbedaan kita dan menjunjung tinggi bhineka tunggal ika sebagai simbol pemersatu Indonesia. Seperti alunan musik di Desa Alitta malam itu yang bisa menumbuhkan benih nasionalisme bagi orang yang medengarkannya, yah begitulah yang kusaksikan hingga aku pulang ke rumah Daeng Cindang untuk beristirahat. Dan yang membuatku kagum saat aku terbangun, ku-lihat jam menunjukkan pukul lima subuh lewat beberapa menit, terdengar dari kejauhan suara musik itu mulai dimainkan kembali, sebagai pembuka untuk memulai acara puncak meccera Arajang Alitta yang diselenggakan pada hari Rabu 22/Mei/2014.

-HS'Masagenae

Kisah di Balik Maccera Arajang Kerajaan Alitta

Rombongan masyarakat adat dengan pakaian khas Bugis telah meniggalkan rumah kepala desa Alitta menuju tempat penyimpanan Arajang kerajaan Alitta. Sebelumnya mereka telah menjemput Sanro Wanua secara adat yang nantinya akan diarak keliling desa oleh empat orang dengan menggunakan walah suji bersama dengan warga yang diiringi irama musik tradisional. Yah, Sanro wanua-lah yang akan memimpin prosesi maccera Arajang di rumah adat dan di dalam halaman sumur Manurung Lapakkita. Tidak ingin ketinggalan, beberapa tamu yang begitu antusias turut berpartisipasi sembari mendokumentasikan moment yang amat penting itu. Salah satu dari mereka adalah komunitas LSM Sempugi dan saya tergabung dalamnya.

Rombongan Masyarakat Adat
Anggota Komunitas LSM Sempugi
Sanro Wanua
Acara adat ini kurang lebih sudah lima puluh dekade terselenggara secara turun temurun dikalangan masyarakat Alitta. Semenjak masa kepemimpinan Arung Alitta yang ke tiga La Massora yang memprakarsai lahirnya sebuah Arajang kerajaan. Dan dilakukan kegiatan Maccera satu kali dalam lima tahun hingga sekarang. Kali ini dana yang digunakan berasal dari swadaya warga Alitta berupa uang ataupun beras yang sudah ditetapkan nominalnya dan beberapa donatur yang masih menjujung tinggi adatnya dengan memberikan bantuan agar kegiatan tersebut bisa terselenggara.

****

Alitta merupakan salah satu dari lima kerajaan konfederasi Ajatappareng yang dulunya membentuk sebuah kekuatan untuk membentengi kekuatan militer Goa. Tapi saya tidak akan membahas terlalu jauh tentang itu tapi lebih kepada era La Massora. Menurut informasi dari daeng Cindang, Arajang Alitta berupa pakaian/selendang seorang bidadari yang pernah menjadi istri Arung Alitta ke tiga. Dalam lontara Alitta pun mendeskripsikan kisah mereka dan begitu juga tutur yang dipecayai oleh warga setempat.

Seperti biasa senyum tipis Daeng Cindang senantiasa ia pancarkan saat lagi bercerita, saya duduk santai didepannya bersama dengan sureng Sempugi sambil menyimak secara seksama ia menjelaskan kisah di balik Arajang Alitta. Adapun ceritanya sepeti berikut ; Setiap malam jum'at La Bolong-anjing peliharaan La Massora tidak pernah pulang kerumah nanti ketika malam sabtu anjing itu baru kembali, anehnya La Bolong selalu pulang dengan aroma harum dan itu sudah berlansung selama beberapa pekan sehingga membuat ia penasaran. Hal itu pun ia sampaikan kepada para penjaga dan masyarakat Alitta hingga cerita itu menyebar.

Di tempat yang lain tepatnya hutan di gunung yang masih wilayah Alitta, Lato-lato'e pangonrang manu kale'na La Massora (penjaga ayam hutan La Massora) mendengar suara anaddara (perempuan) beserta percikan air dan gongngongan anjing. Rasa penasaran pun menggerakkan ia melangkahkan kaki untuk mencarinya. Saat ia menemukan asal suara itu ia melihat tujuh perempuan "dalam lontara Alitta dituliskan anak bidadari" sedang mandi dan bermain air dengan La Bolong, Tempat itu dinamakan Bujung Pitue "tujuh buah sumur kecil kira-kira besar mulut sumur seperti piring makan. Dengan wajah kaget ia bersegera pergi untuk mencari La Massora guna menyampaikan peristiwa tersebut.

Di siang hari ba'da sholat Jum'at Lato-lato'e menemui La Massora di rumahnya dan menceritakan semua yang ia saksikan. Masa itu Arung Alitta sudah memeluk agama islam sekitar abad ke lima belas. Hari Jum'at berikutnya La Mossora masuk hutan untuk memastikan kebenaran informasi yang ia dapatkan tentang anak bidadari dan anjing peliharaannya. Bersama Lato-lato'e, La Bolong dan beberapa orang pengawal ia pun sampai di tempat itu dan membuat tempat persembunyian yang strategis menggunakan kayu besar yang ditancapkan kedalam lubang yang ia buat sedalam pusar, dengan begitu mereka bisa melihat dengan jelas yang di tunggu-tunggunya.

Matahari tepat berada di atas kepala dari kejauhan terlihat tujuh perempuan yang mendekat menujuh bujung pitue. Begitu juga dengan La Bolong tiba-tiba berlari kesana. Seperti yang dikatakan Lato-lato'e, anjing kesayangan La Massora pernah bersama anak bidadari di sana dan sekarang ia melihat lansung hal tersebut. Sepertinya keberadaan mereka tercium, salah satu dari anak bidadari mengatakan "dioko magatti nasang engka sedding mabbau tau lino" (cepatlah kalian mandi karna saya mencium aroma manusia disekitaran sini) akan tetapi yang paling bungsu tidak mempedulikan kata-kata itu dan tetap asyik bermain air. Keenam kakanya pun bersegera meninggalkan Bujung Pitue, karna terbawa keceriaan bersama La Bolong si bungsu tidak menyadari bahwa ia telah di tinggal sendiri.

Kesempatan inilah yang digunakan oleh La Massora untuk mengambil selendang anak bidadari dan menangkapnya. Dengan bantuan pasukannya anak bidadari ditandu ke perkampungan. Saat sampai diperkampungan masyarakat Alitta berkumpul di suatu tempat untuk melihat lansung anak bidadari itu. Tempat itu kemudian dinamakan Makkita (melihat) sekarang menjadi La Pakkita. La Massora kemudian meminta anak bidadari untuk menjadi istrinya. Akan tetepi anak bidadari mengajukan satu syarat, ia ingin dibuatkan sumur khusus karna ia tidak ingin bercampur air yang dipakai untuk mandi dengan manusia. Sumur itu sekarang menjadi situs budaya karna ia berada di kampung yang sudah diberi nama La Pakkita maka namanya mengikuti yaitu Sumur La Lapakkita.

Sedangkan anak bidadari dipanggil We Bungko artinya bungsu. Dari penikahan La Massora dengan We Bungko mereka dikaruniahi seorang anak laki-laki, namanya adalah La baso. Singkat cerita suatu peristiwa yang tidak pernah diduga oleh La Massora, ketika sang bidadari Mallajang (menghilang) dan menitipkan pakaian/selendang-nya yang kemudian menjadi Arajang (Kebesaran) di Alitta hingga sekarang ini.

-HS’Masagenae

Halaman

Twitter

 
Support : http://sempugi.org/ | Your Link | Your Link
Copyright © 2014. Haeruddin Syams - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger