Foto Saya

Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Mahasiswa dan Kehidupan Sosial ; Spekulasi Heroisme Mahasiswa

Akademis dan organisasi merupakan terminologi yang selalu diidentikkan dengan mahasiswa yang dalam perkembangannya mengkonstruk logika kompetisi yang tak berujung. Dimana indikator kemapanan mahasiswa akademisi dengan indeks prestasinya yang tinggi sedangkan mahasiswa organisatoris dengan improvisasi yang hebat. Kalau bercermin dari sejarah, seperti yang terjadi pada saat penggulingan rezim orde baru dimana peran gerakan mahasiswa sangat besar walaupun disatu sisi ada isu yang mengklaim bahwa gerakan tersebut adalah kendaraan politisi partai sebagai batu loncatan karirnya dalam instansi pemerintahan, moment ini tidak pernah disebutkan dalam sejarah bahwa perjuangan tersebut hanya dilakukan oleh mahasiswa akademisi saja ataupun mahasiswa organisatoris, akan tetapi mereka berbaur membuat simpul perjuang mahasiswa. 
 
Kontribusi mahasiswa dalam sejarah perkembangan RI telah menganggkat stratafikasinya, digambarkanlah posisi mahasiswa berada ditengah-tengah antara rakyat dengan pemerintah sehingga timbul perspektif dalam masyarakat mahasiswa sebagai kaum terdidik yang mampu menjadi motorik untuk membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat.

Buah dari gerakan mahasiswa yang sifatnya temorer yang dicatat dalam sejarah, kini direproduksi menjadi cerita heroid, spekulasi heroisme mahasiswa dijadikan dongeng yang dicerikan pada mahasiswa baru dalam prosesi pengkaderan. Dimana spekulasi tersebut merupakan usaha pelarian dari ketidak mampuan mahasiswa sekarang melakukan perlawanan terhadap dominasi oligarki dalam lingkungan kampus.

Pengultusan inilah yang membuat mahasiswa besar kepala seolah-olah harapan untuk mencapai sila ke 5 dari pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ada ditangan mereka, yang menjadi pertanyaan kemudian kenapa sampai sekarang keadilan tersebut belum bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia? malah kondisinya keadilan itu hanya milik orang kaya saja, begitu besar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin secara finansial maupun dimata hukum.

Dikotomi mahasiswa, rakyat, dan pemerintah merupakan kecelakaan berpikir yang terbangun selama ini, yang mejadikan rakyat menggantungkan harapan mereka kepada mahasiswa atas kezaliman yang dilakukan oleh penguasa, apakah perubahan bisa terwujud jika hanya mahasiswa yang berjuang? Ohh tidak,  itu sangat mustahil karna tanpa ada integritas ketiga elemen tersebut secara komprehenshif maka harapan untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya akan menjadi mimpi belaka.

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat itu tersusun atas mahasiswa, rakyat, pemerintah dan tidak akan berubah keadaan mereka kalau perjuangannya tidak sinergis untuk merubah keadaan mereka sendiri menjadi lebih baik.

Coretan ini dalam rangka kegiatan Youth Camp



" mohon kritikan dan masukannya"
Haeruddin Syams Masagenae
 

“Keluarga, sahabat, pacar dan pengaruhnya terhadap pengkaderan”


Ketimpangan sosial sering sekali di dapatkan  dalam interaksi antar satu individu dengan individu yang lain dalam institusi sosial. Terkadang  fenomena tersebut menjadi percikan api yang berujung pada perdebatan, permusuhan, bahkan sampai perkelahian, bisa juga sebaliknya. Ketimpangan sosial yang dimaksud adalah adanya perlakuan berbeda suatu individu dengan individu yang lain hal tersebut terjadi  karna adanya ikatan sosial yakni sebagai keluarga, sahabat,dan pacar.

Berbicara masalah pengkaderan tentu hal tersebut sangat identik dengan lembaga karna syarat mutlak suatu lembaga , baik itu lembaga profit, kemahasiswaan, pemerintah adalah regenerasi sebagai sosok untuk melanjutkan agenda-agenda lembaga tersebut dan  kualitas regenerasi sangat dipengaruhi oleh prosesi pengkaderan struktural maupun kultural. Jadi bagaimana seseorang regenerasi ditempa sedemikian rupa untuk menghasilkan generasi yang berkulitas, dalam proses pengkderan inilah dilakukan internalisasi nilai-nilai tujuan lembaga tersebut.

Pengkaderan akan sangat normatif jikalah didefenisikan dengan pendekatan lembaga, mari kita membahas pengkaderan secaran universal dengan menggunakan pendekatan spirit perjuangan “setiap hembusan nafas adalah pengkaderan”  pada dasarnya pengkaderan merupakan metodelogi  untuk menularkan spirit perjuangan kepada seseorang, dengan kata lain ada transformasi nilai. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan rasa perhatian lebih dan saling menjaga satu sama lain, walaupun tanpa adanya ikatran keluarga, sahabat, dan pacar, jadi esensi proses pengkaderan adalah bagaimana individu memberikan perhatian lebih terhadap individu yang lain begitu pula sebaliknya, dan saling menjaga satu sama lain dan hal tersebut dilakukan dalam setiap hembusan nafas. Esensi itulah yang akan menghasilkan ikatan spirit perjuangan lebih kuat dari ikatan keluarga, sahabat, dan pacar.

Pada dasarnya keluarga adalah ikatan darah antara satu individu dengan individu yang lainnya dan sangat normatif. Hal itu bisa dilihat dari kartu keluarga (KK) dan informasi lisan dari individu yang memiliki ikatan darah seperti, kakek, ayah, dan saudara. Keluarga juga terkadang didefenisikan sebagai kesamaan dalam suatu komunitas seperti kesamaan suku, mahasiswa, profesi kerja dll. itulah beberapa gambaran keluarga, selanjutnya akan diintegritaskan bagaimama pengaruhnya terhadap proses pengkaderan.

Pembasan diatas telah disampaikan esensi pengkaderan yakni rasa perhatian dan saling mejaga satu sama lain, jikalah hal tersebut tidak bisa diintegrasikan didalam lingkungan keluarga maka akan menimbulkan kecanggungan untuk berkomunikasi dan bahkan bisa saling tidak mengenal kalau keluarga tersebut berdomisili ditempat yang berbeda, sebaliknya jika esensi pengkaderan bisa di integrasikan dalam interaksi sosial maka akan menghasilkan ikatan kekeluargaan yang sangat kuat walaupun tanpa adanya ikatan darah, begitu pula dengan ikatan sahabat dan pacar.


( Mohon kritikan dan sarannya )
Haeruddin Syams Masagenae

EYD dan Fenomena Okkots

Jakarta 27/Agustus/1975 menteri pendidikan dan kebudayaan RI menetapkan UU No. 0195/U/1975 tentang peresmian berlakunya pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (sumber wikipedia), melalui ketetapan tersebut bahasa RI diseragamkan sesuai dengan EYD. Seiring dengan itu ada beberapa pertayaan yang wajib untuk di ketahui, pertama apakah menteri pendidikan dan kebudayaan RI pada saat itu mempertimbangkan efek yang ditimbukan dari ketetapan tersebut.?

Seperti kepunahan bahasa lokal  yang jumlahnya 746 ! (sumber http://bahasa-nusantara.blogspot.com) yang kedua apakah EYD refresentatif dari semua bahasa lokal yang ada di RI ? minimal satu kata dari semua bahasa lokal dimasukkan dalam bahasa Indonesia yang disempurnakan, ataukah hanya mewakili satu bahasa lokal saja yang kemudian melalui ketetapan UU EYD digunakan sebagai legatimasi untuk mengintervensi masyarakat Indonesia menggunkan bahasa tersebut dengan alasan persatuan, yang ketiga apakah EYD bisa beradaptasi dengang bahasa lokal ditiap-tiap daerah RI tanpa mencederai nilai-nilai kearifan lokal ? karna masing-masing bahasa lokal memiliki dialek yang berbeda dalam mengucapkan huruf dan kata.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut penulis memiliki jawaban yang bebas nilai, dimana setiap pembaca bebas memberikan jawaban sesuai dengan apa yang mereka pahami.

Dalam perkembangannya kemudian, EYD menjadi bumerang munculnya budaya okkots dalam masyarakat bugis/makassar, parahnya lagi  dikalangan remaja tidak mau lagi menggunakan bahasa lokal karna dianggap katro, kolot, atau bahasa kerennya tidak gaul dan beberapa diantara mereka mengolok-olok ketika mendengar seseorang menggunakan bahasa bugis/makassar.

Defenisi okkots yang dimaksud disini adalah menambahkan, mengurangi, dan mengganti huruf pada kata yang sudah disempurnakan. Seperti ‘bukan+G, kapan+G,  dan+G, lain+G, lain+G. disini dapat dilihat bahwa EYD susah beradaptasi dalam dialek bugis/makassar, karna pada dasarnya pengucapan kata dalam bahasa bugis/mekassar sangat identik dengan akhiran ‘NG’ tidak ada satu katapun dalam bahasa bugis/makassar  yang berakhiran ‘N’ pasti kata yang berakhiran ‘N’ disertai dengan ‘G’ jadi dialek bugis/mengkasar sudah terbiasa mengucapkan akhiran ‘NG’.

Ketika kemudian EYD digunakan dalam berkomunikasi penambahan huruf ‘G’ pada kata yang huruf terakhirnya ‘N’ itu merupakan sebuah kewajaran  dimana EYD dikombinasikan dengan dialek bahasa bugis/makassar. Sangat tidak adil jika memarginalkan orang bugis/makassar hanya karna menambahkan huruf ‘G’ pada kata yang berakhiran ‘N’ dan sangat lucu, bodoh, memalukan orang bugis/makassar yang merasa teralienasi jika menggunakan bahasa lokalnya sendiri, sementara darah yang mengalir dalam tubuhnya didapatkan dari orang bugis/makassar yang dulunya sangat bangga dengan identitasnya.

Sama halnya ketika EYD diterapkan dalam bahasa lokal yang lain seperti bahasa ‘kemane aje’ (kemana saja), ‘nda ape-ape (tidak apa-apa), kalau kita sepakat dengan defenisi okkots yang telah dijelaskan sebelumnya maka bahasa tersebut bisa dikatagorikan sebagai okkots. Akan tetapi mereka dengan dialeknya sangat bangga dan percaya diri, bahkan mereka tampil di film, acara-acara TV lainnya dengan bahasa ‘kemane aje’ (kemana saja), ‘nda ape-ape (tidak apa-apa) yang pada dasarnya itu adalah okkots.  itulah yang membedakannya dengan orang bugis/makassar yang mereduksi budaya "siri na pesse" dan menyebabkan mereka merasa teralienasi dengan okkotsnya.

-HS’Masagenae

INI CERITA KU (BAKTI SOSIAL KMP PNUP)


Desa Suppirang, leppangan, dan salusape, kecamatan lembang merupakan merupakan daerah yang berada dikabupaten pinrang letaknya kira-kira 30 km dari pusat pemerintahan. Akses jalan dari kota kecamatan menuju desa saat ini sudah bisa dilewati menggunakan sepeda motor walaupun jalannya belum diaspal. Didesa leppangan hanya ada 5 rumah dan desa salusape 3 rumah, masyarakat kesehariannya bekerja sebagai petani yang merupakan sumber penghidupan untuk memenuhi kebuthan keluarga. Mayoritas anak-anak disana belum bisa menikmati pendidikan gratis yang selalu dikampanyekan politikus partai saat berkunjung didesa tersebut. Sungguh sangat ironis ketika melihat kehidupan eksklusif dan glamor anggota pemerintahan kabupaten pinrang sementara masih banyak penduduknya yang harus bermandikan keringat hanya untuk mencari sesuap nasi.
Foto Bersama Anak-anak di Desa Salusapae
Hari senin 5 agustus 2013 bertepatan dengan ibadah puasa yang ke 27 mahasiswa KMP PNUP melakukan kegiatan Bakti Sosial, selain kegiatan tersebut merupakan program kerja organisasi juga merupakan interpretasi fungsi mahasiswa yaitu social of control, dimana mahasiswa harus berpartisipasi reel ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Inilah bentuk tindakan kemanusiaan yang sangat mulia oleh mahasiswa KMP PNUP dengan membuat kegiatan Bakti Sosial. Ada beberapa item dalam kegiatan baksos tersebut, yang pertama membersihkan mesjid didesa suppirang, yang kedua membagikan bahan makanan berupa telur, indomie, ikan kaleng, minyak goreng didesa leppangan dan salusape.

Mahasiswa KMP PNUP sangat antusias dalam menjalankan kegiatan tersebut mulai dari anggota kehormatan, pengurus, dan adik-adik mahasiswa baru yang sangat bersemangat ketika dalam perjalanan menuju desa, walaupun harus melewati jalan terjal yang penuh dengan bebatuan sampai-sampai mereka harus menyebrangi sungai untuk sampai kedesa. Yang paling luar biasa adalah semangatnya tetap berkobar saat salah satu diantara mereka terjatuh dari motor dan ada juga yang terpeleset sampai jatuh di air saat menyebrangi sungai.

11:00 wita desa suppirang, agenda pertama membersihkan mesjid, Mahasiswa KMP PNUP sampai didesa suppirang tepatnya didepan mesjid, dengan arahan ketua KMP dan ketua panitia baksos mereka masing-masing mengambil peran untuk membersihkan mesjid seperti menyapu/mengepel lantai, merapikan barang-barang dan perlengkapan ibadah, tapi ada juga beberapa diantara mereka yang bermalas-malasan, hanya duduk sembil cerita dan tertawa disekitaran mimbar mesjid. Dalam keadaan menjalankan ibadah puasa ditambah lagi cengkraman panas matahari yang membuat energi terkuras dan tubuh kelelahan mereka tetap memancarkan senyum bahagia diwajahnya bagaikan lilin yang meleburkan dirinya untuk menjaga agar bunga api tetap menyala agar dapat memancarkan cahaya ditengah-tengah kegelapan. Inilah karakter kader KMP PNUP yang memiliki spirit perjuangan dalam menyelesaikan tanggung jawab.Satu jam berlalu dengan dibumbuhi canda tawa akhirnya kegiatan membersihkan mesjid  pun selesai, mereka kemudian melaksanakan sholat duhur berjamah bersama dengan masyarakat sekitar dilanjutkan dengan briefing untuk mengevaluasi dan mebicarakan agenda berikutnya, ketua KMP sempat mengevaluasi kekurangan saat membersihkan mesjid yaitu WC yang tersumbat belum sempat diperbaiki dan harusnya bisa memberikan bantuan berupa lap kaki karna mesjid tersebut tidak memiliki lap kaki. Briefing selesai, perjalanan dilanjutkan untuk menyelesaikan agenda kedua. Jarak yang harus ditempuh untuk sampai kedesa berikutnya sekitar 4-5 km melewati jalan yang sangat tidak bersahabat ini karna kurangnya perhatian pemerintah setempat untuk memperbaiki jalan tersebut.


13:45 akhirnya sampai didesa leppangang, barisan motor diparkir rapi dibawah rumah masyarakat kemudian mereka burkumpul untuk membagi team kerja yang akan melakukan pembagian bahan makanan ditiap-tiap rumah. Sesuai kesepakatan team terbagi dua dan tiap team terdiri dari 4-5 orang, setelah terbentuknya team mereka kemudian mendatangi rumah masyarakat untuk membagikan bahan makan. Ada juga beberapa anggota yang hanya tinggal duduk santai bercanda ria dibawah rumah dan menikmati pemandangan alam sambil berfoto-foto. Saat sampai dirumah masyarakat tiap team terlebih dahulu berbincang-bincang dan meminta kesediaan masyarakat untuk menerima pemberian bahan makanannya, karna biasanya masyarakat desa pinrang “masiri” malu menerima pemberian seseorang terlebih lagi kalau mereka tidak mengenal siapa orang tersebut, itulah tipologi masyarakat pedesaan dipinrang yang menjadikannya tekun bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka karna ada konstruk budaya lokal dalam pahaman mereka ‘jangan pernah berharap pemberian seseorang, ketika engkau masih bisa mencarinya. Berhubung hanya ada 5 rumah didesa leppangan jadi tidak memakan banyak waktu untuk membagikan bahan makanannya, mereka dapat menyelesaikan dalam waktu kurang lebih 30 menit, begitu pula didesa salusape.
Desa Leppangang
Setelah kegiatan Bakti Sosial selesai, mereka berkumpul didesa bungi tepatnya rumah saudari Nunu Bondeng untuk berbuka puasa ‘menikmati masakan ala mace Nunu Bondeng’.

Mohon keritikan dan masukannya (atau sekalian ditambah)

“HAERUDDIN SYAM MASAGENAE”

Halaman

Twitter

 
Support : http://sempugi.org/ | Your Link | Your Link
Copyright © 2014. Haeruddin Syams - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger