Foto Saya

Home » » EYD dan Fenomena Okkots

EYD dan Fenomena Okkots

Jakarta 27/Agustus/1975 menteri pendidikan dan kebudayaan RI menetapkan UU No. 0195/U/1975 tentang peresmian berlakunya pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (sumber wikipedia), melalui ketetapan tersebut bahasa RI diseragamkan sesuai dengan EYD. Seiring dengan itu ada beberapa pertayaan yang wajib untuk di ketahui, pertama apakah menteri pendidikan dan kebudayaan RI pada saat itu mempertimbangkan efek yang ditimbukan dari ketetapan tersebut.?

Seperti kepunahan bahasa lokal  yang jumlahnya 746 ! (sumber http://bahasa-nusantara.blogspot.com) yang kedua apakah EYD refresentatif dari semua bahasa lokal yang ada di RI ? minimal satu kata dari semua bahasa lokal dimasukkan dalam bahasa Indonesia yang disempurnakan, ataukah hanya mewakili satu bahasa lokal saja yang kemudian melalui ketetapan UU EYD digunakan sebagai legatimasi untuk mengintervensi masyarakat Indonesia menggunkan bahasa tersebut dengan alasan persatuan, yang ketiga apakah EYD bisa beradaptasi dengang bahasa lokal ditiap-tiap daerah RI tanpa mencederai nilai-nilai kearifan lokal ? karna masing-masing bahasa lokal memiliki dialek yang berbeda dalam mengucapkan huruf dan kata.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut penulis memiliki jawaban yang bebas nilai, dimana setiap pembaca bebas memberikan jawaban sesuai dengan apa yang mereka pahami.

Dalam perkembangannya kemudian, EYD menjadi bumerang munculnya budaya okkots dalam masyarakat bugis/makassar, parahnya lagi  dikalangan remaja tidak mau lagi menggunakan bahasa lokal karna dianggap katro, kolot, atau bahasa kerennya tidak gaul dan beberapa diantara mereka mengolok-olok ketika mendengar seseorang menggunakan bahasa bugis/makassar.

Defenisi okkots yang dimaksud disini adalah menambahkan, mengurangi, dan mengganti huruf pada kata yang sudah disempurnakan. Seperti ‘bukan+G, kapan+G,  dan+G, lain+G, lain+G. disini dapat dilihat bahwa EYD susah beradaptasi dalam dialek bugis/makassar, karna pada dasarnya pengucapan kata dalam bahasa bugis/mekassar sangat identik dengan akhiran ‘NG’ tidak ada satu katapun dalam bahasa bugis/makassar  yang berakhiran ‘N’ pasti kata yang berakhiran ‘N’ disertai dengan ‘G’ jadi dialek bugis/mengkasar sudah terbiasa mengucapkan akhiran ‘NG’.

Ketika kemudian EYD digunakan dalam berkomunikasi penambahan huruf ‘G’ pada kata yang huruf terakhirnya ‘N’ itu merupakan sebuah kewajaran  dimana EYD dikombinasikan dengan dialek bahasa bugis/makassar. Sangat tidak adil jika memarginalkan orang bugis/makassar hanya karna menambahkan huruf ‘G’ pada kata yang berakhiran ‘N’ dan sangat lucu, bodoh, memalukan orang bugis/makassar yang merasa teralienasi jika menggunakan bahasa lokalnya sendiri, sementara darah yang mengalir dalam tubuhnya didapatkan dari orang bugis/makassar yang dulunya sangat bangga dengan identitasnya.

Sama halnya ketika EYD diterapkan dalam bahasa lokal yang lain seperti bahasa ‘kemane aje’ (kemana saja), ‘nda ape-ape (tidak apa-apa), kalau kita sepakat dengan defenisi okkots yang telah dijelaskan sebelumnya maka bahasa tersebut bisa dikatagorikan sebagai okkots. Akan tetapi mereka dengan dialeknya sangat bangga dan percaya diri, bahkan mereka tampil di film, acara-acara TV lainnya dengan bahasa ‘kemane aje’ (kemana saja), ‘nda ape-ape (tidak apa-apa) yang pada dasarnya itu adalah okkots.  itulah yang membedakannya dengan orang bugis/makassar yang mereduksi budaya "siri na pesse" dan menyebabkan mereka merasa teralienasi dengan okkotsnya.

-HS’Masagenae

2 komentar:

Halaman

Twitter

 
Support : http://sempugi.org/ | Your Link | Your Link
Copyright © 2014. Haeruddin Syams - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger