Foto Saya

Home » » Apakah Lembaga Adat Masih Relevan di Negara Kita !?

Apakah Lembaga Adat Masih Relevan di Negara Kita !?

ilustrasi "Balla Lompoa"


MAU di bawah kemana lembaga adat kita? Yah itu pertanyaan yang sangat menggelitik dalam benak saya. Pertanyaan yang menjadi hantu gentayangan, memudarkan warna-warni harapan yang saya sandarkan kepada lembaga adat. Saya tidak paham kenapa bisa lembaga adat sekarang seolah-olah terikat garis komando dari Presiden, Gubernur, Bupati, dan jabatan politik lainya.

Tidak heran jika kita pernah mendapati pemimpin lembaga adat di lantik oleh pemilik kuasa ala demokrasi Negara kita. Bahkan saya sempat mendengar cerita bahwa ada seorang pemimpin lembaga adat yang di tunjuk lansung oleh Bupati. Hah! Kok bisa?

Padahal dulu lembaga adat merupakan pemilik hamparan tanah di Nusantara. Berdaulat secara geografis untuk mengelolah sumber daya alamnya, sebelum pada akhirnya melebur dalam NKRI (negara kesatuan republik Indonesia) dan lambat laun mereka pun kehilangan taring akan kuasa yang di wariskan para leluhur mereka. 

Tapi ajaibnya kota Yogyakarta, masih mampu mempertahankan sistem tradisional itu, sampai sekarang! Ini membuktikan bahwa lembaga adat tidak bisa dipisahkan dari Indonesia yang telah mengadopsi demokrasi barat. Sampai kapan pun lembaga adat akan selalu tercatat rapi dalam buku sejarah kita. Semoga kita tidak pernah melupakan sejarah ke-emasan perdagangan kerajaan Gowa di Asia paca runtuhnya kerajaan melayu Malaka akibat invasi militer Portugal.

****

Saat ini dalam bingkai persatuan Bhineka Tunggal Ika masih terdapat lembaga adat yang eksis di bangsa kita. Negara yang mewarisi domain kerajaan se-Nusantara. Terkhusus di Sulawesi-Selatan indikator keberadaannya bisa kita saksikan saat dewan adat Luwu tahun 2014 kemarin  memberikan gelar kebangsawanan kepada mantan presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Berita itu gempar dan sempat menjadi perbincangan di media sosial oleh para pemerhati budaya. 

Di tambah lagi bulan November 2015 lalu terjadi peristiwa serupa di mana Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Polisi Badrodin Haiti mendapat gelar yang sama dari lembaga adat bumi Arung Palakka. Yang heboh di wartakan oleh jurnalisme kita dan menuai respon pro-kontra di masyarakat terutama mahasiswa asal Bone yang kuliah di Makassar hingga mereka melakukan aksi demonstrasi untuk menyikapainya. 

Saya sempat terkejut karena diberikan tawaran salah seorang teman pengurus organisasi daerah (organda) Bone untuk menjadi pembicara terkait masalah itu. Sontak saya menolak karena isunya sangat sensitif, meskipun itu hanya dalih saya karena sebenarnya saya menanganggap kapasitas intelektual saya tidak kompeten untuk berbicara masalah gelar yang disebut-sebut sebagai  milik orang yang berdarah biru. "Entahlah, kita anggap saja itu benar!

Tapi dikesempatan ini saya tidak tertarik membahas tanggapan masyarakat terkait kontroversi pemberian gelar tersebut. Menurut saya setiap orang punya gagasan dan ekspektasi tersendiri. Saya hanya ingin memberikan gambaran akan impian dan harapan saya sebagai bentuk pengakuan saya terhadap eksistensi lembaga adat di bumi pertiwi kita. 

Bagi saya lembaga adat sangat ideal untuk bangsa kita kerena merupakan sistem pemerintahan yang lahir dari rahin budaya kita sendiri walaupun sudah tergeser oleh pesta demokrasi impor. "Sungguh ironis. Saya membagi beberapa poin impian dan harapan tersebut :

  1. Lembaga adat harus hadir ditengah-tengah masyarakat kita tanpa membeda-bedakan kalangan proletar dan borjuis. Ia harus hadir ketika tanah kami di rampas dan dipalsukan akta kepememilikannya oleh para pemodal, ketika rumah-rumah kami di gusur untuk membangun mall, ketika pengairan di tutup saat sawah kami membutuhkan air, ketika hutan kami di bakar dan di eksploitasi, ketika kebijakan-kebijakan pemerintah tidak memihak kepada rakyat.
  2. Lembaga adat harus mengapresiasi mereka para pemerhati budaya, mereka yang peduli akan pentingnya menjaga dan melestarikan budaya kita tidak hanya sibuk memberikan gelar kebangsawanan kepada pejabat pemerintahan. Misalnya organisasi yang berbasis kebudayaan baik itu  organisasi mahasiswa internal dan eksternal kampus  ataupun LSM  (lembaga swadaya masyarakat) beserta seniman, musikolog, maestro lokal kita. Jujur, saya sangat terinspirasi oleh senior saya Andi Rahmat Munawar. Ia adalah budayawan yang aktif menulis tentang kebudayaan Bugis-Makassar dari segala aspek, sebut saja gagasannya tentang "Qou Vadis Lembaga Adat"? yang menjadi inspirasi saya membuat tulisan ini. Bisa di baca di blog pribadinya di sini www.diskusilepas.com
  3. Lembaga adat harus menjadi mediator untuk mengajarkan pengetahuan dan kearifan lokal warisan nenek moyang kita. Di Bugis-Makassar terdapat segudang ilmu yang terabaiakan oleh generasi muda kita. Seperti  Lontaraq Sebbo, "kitab yang membahas tentang etika suami-istri secara islami. Lontaraq sissi, "kitab yang membahas karakter manusia dari tampilan fisik. Lontaraq abbolang, "kitab yang membahas adab-adab bagaimana cara membangun rumah. Lontaraq bessi, "kitab yang menyajikan proses pembuatan badiq. Dan masih banyak lagi yang tidak sempat saya tuliskan di sini.
  4. Seyogyanya sebuah sistem pemerintahan, lembaga adat harus merekonstruksi dan memperjelas  struktur dan hukum-hukumnya. Prof. Dr. Mattulada menjabarkan perangkat-perangkat adat dalam bukunya La Toa : 1985. "Arung Bila, membagi ade' (adat) atas lima bahagian, menurut pangkal kejadian, nilai, dan sasaran kegunaan. Pertama : ade'puranonro adalah ade' yang tidak boleh mengalami perubahan-perubahan lagi. Suatu azas yang menjadi pangkal dari seluruh azas ade' lainnya. Kedua : Ade maraja ialah adat yang dimufakati berdasarkan janji tentang batas-batas berlakunya. Ketiga : Tuppu, semacam ketetapan bagian dari ade' yang mengatur jenjang dan tingkat-tingkat ketetapan dalam kekuasaan pemerintahan. Berlakunya ade' tuppu apabila terjadi sengketa diakalangan pekatenni ade' (pemangku adat). Keempat : Wari adalah semacam ketentuan pula, bahagian dari ade' yang mengatur jori (batas-batas) hak dan kewajiban orang dalam bermasyarakat. Kelima : Rapang adalah sesuatu ketentuan yang penting dalam ade'. Di dalam hal orang berkehendak mengambil landasan-landasan baru, jika sebelum itu telah terjadi peristiwa yang semacamnya. Untuk lebih lengkapnya silahkan baca di buku La Toa bab III.
  5. Lembaga adat harus mendorong agar pemerintah dan investor harus menganut kerjasama kemitraan dengan masyarakat adat untuk menciptakan ekonomi kerakyatan yang tidak hanya menguntungkan kelompok dan orang-orang tertentu. "Pola Kemitraan adalah pola kerjasama usaha yang saling membutuhkan, menguntungkan dan saling menguatkan secara berkesinambungan. Dalam hal ini, pengembangan pola kemitraan yang melibatkan pemerintah, swasta, dalam hal ini investor dan masyarakat sudah saatnya dilakukan dan dilaksanakan. Pada pola kemitraan itu juga, para petani dalam hal ini masyarakat adat setempat, diajak turut bertanggung jawab dalam kegiatan on-farm suatu perusahan perkebunan misalnya, antara lain terlibat langsung dalam penyediaan lahan, penerapan teknologi budidaya yang dianjurkan dan menjual hasilnya keperusahan induk sebagai mitra kerja yang mengayomi dan memberikan modal usaha
  6. Lembaga adat mestinya bersikap independen. Tidak berafiliasi dengan partai politik, apalagi sampai menggunakan legitimasi jabatan adat untuk mengarahkan rakyat memilih calon tertentu.
****

Terkadang saya merenungi nasib bangsa kita, ketika membaca berita perkembangan pesat Negara-negara maju. Di saat mereka sudah melakukan pengayaan nuklir sebagai energi alternatif untuk menggantikan sumber daya alam yang kian menyusut tiap harinya. Sementara para bangsawan kita masih sibuk mengurusi perpecahan internal. Saling menjatuhkan satu sama lain, hanya untuk menjawab pertanyaan “siapa yang pantas mewarisi kursi pemimpin lembaga adat? “Siapa yang memiliki darah bangsawan yang lebih tinggi? 

Bagi saya, mereka yang tidak mampu membuka cakrawala berpikirnya untuk meneropong masa depan, adalah mereka yang tidak akan mampu memprediksi rintangan apa yang datang menghantam. Persaingan ketat di dunia Internasinal akan menjadi momok bagi mereka, hingga mereka ibarat ratusan rumah yang terbawa arus sunami yang hanya menyisakan puing-puing. Jika ingin bertahan, harusnya bangsawan-bangsawan kita di lembaga adat meyiapkan strategi-strategi jitu untuk menyongsong tantangan zaman, agar tidak terseret oleh tumpukan puing-puing akibat gerusan gelombang sunami globalisasi.

Makassar 13 Januari 2016

7 komentar:

Halaman

Twitter

 
Support : http://sempugi.org/ | Your Link | Your Link
Copyright © 2014. Haeruddin Syams - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger