Foto Saya

Home » , » Bentor dan Daeng Itung

Bentor dan Daeng Itung

Bentor Daeng Itung
Daeng bentor, “teriak Ibu dengan melambaikan tangan kanan sembari melangkahkan kaki menuju pertigaan jalan Bonto Ramba Makassar. Sontak,  orang di depanku   lansung menyalakan bentornya untuk menjemput si Ibu, mau kemana-ki? “Tanya-nya, ke Hertasning, “jawab si Ibu sambil naik ke atas bentor. Mereka pun berangkat tanpa sempat menyepakati ongkos jasa untuk si tukang bentor.

Jika kalian melewati pertigaan depan kantor Jasa Sertifikasi PLN (perusahaan listrik negara), maka kalian akan melihat banyak becak yang bertenaga penggerak mesin di bagian belakang sebagai pengganti manusia. Orang di kota Makassar menyebutnya bentor dan profesinya di beri gelar tukang bentor atau daeng bentor. Dulu kata “daeng” hanya digunakan untuk memanggil orang yang lebih tua dari kita sebagai tanda penghormatan, entah kenapa sekarang dinisbahkan juga kepada tukang bentor dan tukang becak. (cikal bakal penyebutan daeng bentor berawal dari daeng becak). Bentor merupakan alat transportasi modifikasi, gabungan antara motor dan becak.

Setiap hari kerja aku selalu menyaksikan deretan bentor terparkir di bibir jalan Bonto Ramba, dan selalu kulihat wajah lelah pengemudinya ketika mereka sedang beristirahat sembari menunggu penumpang. Tuntutan sesuap nasilah yang menjadi pemicu semangat mereka  bekerja sebagai tukang bentor karena untuk memenuhi kebutuhan keluarga, "tutur daeng Itung yang lagi duduk di sebelahku.

Biasanya, saat matahari kembali menyapa di belahan timur bumi, daeng Itung sudah berada di pertigahan, mencari rezeki Tuhan yang diturunkan melalui perantara para penumpang. Ia baru pulang ke rumah saat jarum jam menunjuk angka sepuluh, bertepatan dengan kehadiran bulan yang telah menggantikan tugas matahari, begitulah rutinitasnya setiap hari.

Aku sering menyapa daeng Itung saat ia lagi tidak ada penumpang karena tepat depan kantorku tempat ia nongkrong. Biasanya trik yang aku gunakan untuk memulai percakapan dengan berpura-pura menanyakan sesuatu dan setelah itu aku akan menjadi pendengar setia kisah perjalanan hidupnya. Aku pasti terlarut ketika ia bertutur. Ku-dengar ‘ketika daeng Itung bercerita ia ibarat pak Raden yang bisa menyulap anak-anak usia pelajar sekolah dasar (SD) untuk larut dalam cerita dongengnya dan seolah-olah mereka hadir sebagai aktor yang memainkan peran narasi dongeng.

Tampaknya daeng Itung amat terbuka kepada orang lain tentang kepribadiannya. Aku curiga ia memikul banyak beban pikiran, jadi wajar ia begitu lepas berkisah tentang dirinya agar beban itu terasa ringan, yah bisa jadi seperti itu.

Beberapa tahun silang daeng Itung merantau ke kabupaten Pinrang selama tujuh belas tahun dan bekerja sebagai Paddaros (orang yang digaji untuk memanen padi) ia juga membawa beberapa keluarga/teman untuk tinggal di sana, saking lamanya ia sampai-sampai menikah dengan warga setempat.

Saat itu alat pemotong padi masih menggunakan Rakkapang dan kandao/sabit (alat pemotong padi tradisional)  "pungkas daeng Itung sambil menghisap rokok yang berada di selah-selah jarinya. Akan tetapi kehadiran mesin pemotong padi di Pinrang memaksa ia angkat kaki pulang ke Makassar dan kembali menjadi seorang penarik bentor. Karena dengan menggunakan mesin itu petani tidak membutuhkan banyak tenaga manusia lagi untuk memanen padi di sawah.

*****

Daeng Itung merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang terpinggirkan oleh deras laju modernisasi. Beberapa negara maju berhasil mengembangkan alat pertanian yang mengakibatkan berkurangnya lapangan pekerjaan. Meskipun di lain sisi hal itu berdampak positif terhadap perkembangan perekonomian akan tetapi toh Negara  kita hanya bisa mejadi konsumen tanpa bisa memproduksi sendiri mesin-mesin pertanian tersebut.

Ada yang bilang sih kapasitas SDM (sumber daya manusia) masyarakat kita tidak memadai, tapi menurutku ke-tidak mampuan itu disebabkan adanya kesengajaan dari pihak tertentu yang tidak ingin melihat bangasa kita maju dan mandiri, Entahlah. Yang pastinya secara tidak lansung daeng Itung adalah korban teknologi impor Negara kita.

*****

Aku pernah mendengar cerita seorang teman, katanya saat ini di kampung halamannya sangat marak terjadi pencurian dan perkelahian. Ia menganalisis penyebab melonjaknya tindakan kriminalisasi karena mesin telah menggantikan tenaga manusia untuk mengelolah lahan pertanian. Karena para aktor kriminal itu tidak lain adalah pengangguran yang telah di rampas lahan kerjanya oleh mesin-mesin kapital, Ironis yah.

Budaya gotong royong menanam dan memanen padi di kampung-kampung kini telah mengalami distorsi. Dulu kita masih bisa menyaksikan puluhan hingga ratusan orang di sawah yang sedang melakukan aktifitas pertanian dan mereka saling bahu membahu satu sama lain. Interaksi sosial juga terjalin begitu akrab di antara mereka. Tapi sekarang teknologi membuat sebagian dari mereka menjadi  pengangguran yang kemudian mengakibatkan maraknya premanisme seperti yang terjadi di kampung temanku.

Konsekuensi globalisasi membuat masyarakat desa mengalami gerak menuju kehidupan ala perkotaan, di mana kebanyakan orang lebih mementingkan individu dari pada kelompok. Aku sering melihat beberapa orang di Makassar yang sudah bertetangga puluhan tahun tapi sampai sekarang mereka tidak pernah saling menyapa.

Mereka menghabisakan waktu kerja di kantor masing-masing, setalah pulang ke rumah mereka hanya memanfaatkan untuk beristirahat. Rutinitas itu yang telah membentuk pola hidup mereka sehingga lupa menyisihkan waktu satu menit untuk bertanya siapa nama orang yang tinggal di sebelah rumahnya.

*****

Kembali ke daeng Itung. Hari aku kembali menyapa senyum daeng Itung, tampaknya ia lagi banyak rezki dan sibuk mengantar-jemput penumpang langganannya "Alahmduillah, bisik'ku dalam hati. Jadi aku hanya ngobrol dengan anak daeng Itung, aku tidak tau siapa namanya tapi biasa aku panggil dia “Bapak Aswar. Kebetulan Ia juga bekerja sebagai penarik bentor.

Awal tahun 2015 kemarin seorang cucu daeng itung juga sempat melakoni profesi yang sama tapi sekarang ia sudah beralih menjadi buruh bangunan. Pantas daeng Itung sangat menyayangi bentor karna bentor-lah yang selama ini menghidupi keluarga besarnya, mulai dari 5 orang anak sampai 14 cucu.

Seperti daeng Itung, Bapak Aswar juga senang berkisah, ia menceritakan pengalaman yang ia alami saat pesta demokrasi wali kota Makassar kemarin. Katanya, tukang bentor se-Makassar kompak memilih salah satu calon karena mereka di janji tidak akan melarang pengoperasian bentor di kota yang terkenal dengan kuliner coto dan pallubasa-nya itu.

Tidak susah untuk mengarahkan tukang bentor karna mereka memiliki asosiasi, jadi cukup memegang pemimpin mereka maka yang lain akan mengikut. Dari penuturan Bapak Aswar, selama ini mereka agak solid jika ada arahan dari ketua asosiasi.

Setiap menjelang sore keluarga daeng Itung selalu datang berkumpul menemani, aku melihat sifat humoris sebagai ciri khas keluarga daeng Itung. Suara tawa mereka begitu nyaring terdengar olehku saat berada di dalam kantor dan kemudian suara itu bermetamorfosa menjadi  magnet menggodaku untuk ikut berbagi canda bersama mereka.

Mereka tiap hari meramaikan pertigahan jalan Bonto Ramba, sampai-sampai aku hampir mengenal semua anak, menanantu, cucu daeng Itung. Satu hal yang membuat aku kagum, mereka tidak pernah mengeluh akan takdir hidup yang mereka jalani. Di kala kami sudah bersama berbagi canda-tawa mensyukuri penghasilan yang kami peroleh itu sudah sangat membuat kami bahagia "ucap daeng Itung kepadaku yang sedang bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Yaa Allah, semoga kebahagian daeng Itung bisa terpercik padaku agar aku salalu mensyukuri pemberianmu, “harapku dalam hati.


Makassar 6 Januari 2016

2 komentar:

  1. makin kren tulisanta daeng. semoga saya punya waktu untuk belajar menulis artikel berbobot sama kita

    BalasHapus
    Balasan
    1. hhhe,iyye sama2 ki belajar. "kita juga begitu ji nah...

      Hapus

Halaman

Twitter

 
Support : http://sempugi.org/ | Your Link | Your Link
Copyright © 2014. Haeruddin Syams - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger