Foto Saya

Home » » Antara Demokrasi Sekuler dan Teokrasi

Antara Demokrasi Sekuler dan Teokrasi

BEBERAPA minggu yang lalu ketika saya hendak membeli pulsa, dua orang lelaki sedang bercerita tentang pemilu yang berlangsung pada 9/4/2014 sebut saja namanya Pak Aco dan Pak Beddu (nama samaran). Mereka nampaknya sudah mempunyai pilihan caleg masing-masing. 

Diskusi alot mereka membuat saya duduk sejenak untuk menjadi pendengar setia. Pak Aco kemudian menunjuk foto caleg yang ada di depan saya, sambil mengatakan bahwa itu adalah saudara saya. “Saudaranya nyaleg dengan membawa visi-misi mensejahtrakan rakyat dengan bermodalkan gelar akademik Serjana Hukum“ tuturnya.

Kemarin kakanya sudah menyelesaikan satu periode di DPR pusat dan ingin melanjutkan program yang sudah ia jalankan. ‘Tambahnya lagi. “Pak selama ini, apa anda tau apa-apa saja undang-undang yang sudah dibuat dan diamandemen oleh kaka anda selaku anggota DPR periode kemarin? “saya memotong pembicaraan sambil bertanya. Banyak sih “tapi sayang saya sudah lupa semua nak’. Jawabnya dengan wajah bingung. Kemudian ia melanjutkan pembicaan dengan memaparkan janji-janji politik kakanya selaku caleg dari salah satu parpol.

****

Sungguh naïf bagi kita yang telah memberikan kepercayaan kepada para legislator untuk merumuskan hukum di Negara ini sebagai bangsa berpenduduk islam terbesar di dunia sementara hukum itu sudah ditetapkan olah Allah swt dalam agama yang telah ia turunkan melalui para walinya. 

Yah, demokrasi kita merupakan percontohan dari demokrasi barat yang merupakan buatan manusia. Demokrasi yang memberikan kekuasan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. 

Akibatnya banyak ketetapan di dalam undang-undang yang tidak sesuai dengan nilai-nilai humanis, moralis dan spritualitas. Sebut saja Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, yang melegalkan eksploitasi dan kemersialisasi di negeri kita.

Ilustrasi, Sumber : http://goo.gl/YNbfFs
Demokrasi sekuler yang diperkenalkan oleh barat seperti yang dikatakan oleh Abraham Linclon; dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dimana kekuasaan secara mutlak dipercayakan kepada legislator untuk membuat dan menetapkan hukum sebagai perwakilan rakyat di kursi pemerintahan. 

Akan tetepi di satu sisi terdapat jarak antara legislator dan rakyat yang mengakibatkan terjadinya miss komunikasi antara mereka.  Seperti yang terjadi pada Pak Aco yang tidak mengetahui perumusan undang-undang yang telah dilakukan oleh saudaranya selaku anggota DPR RI, begitu pula dengan masyarakat yang lain. Karena punya saudara saja di anggota DPR RI tidak tau apa yang mereka buat, bagaimana dengan yang tidak?

****

Demokrasi barat sangat bertentangan dengan Teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan) karna tidak menjadikan syariat sebagai landasan sistem Negara. Jika kita menjadikan Teokrasi sebagai dasar hukum maka wewenang kita hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang telah digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt. 

Karena dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Dengan demikian undang-undang yang dihasilkan pasti selaras dengan Teokrasi dan yang menentukannya bukan voting rakyat akan tetapi iktiar dari seseorang dengan cara mendekatkan diri kepada pembuat hukum yaitu Allah Swt. Bukankah ulama dengan pencuri berbeda? yang di dalam demokrasi liberal suara mereka disamakan.

Sederhanya adalah Allah Swt berposisi sebagai legislator (pembuat hukum) sementara manusia berposisi sebagai orang yang berusaha memahami dan menjabarkan hukum-Nya. Jadi konstitusi harusnya relevan dengan hukum teokrasi dan hanya dengan iktiar personal (perjalanan spritual) hukum itu bisa dipahami dan dijawantahkan di kalangan masyarakat. 

Semakin besar iktiar seseorang menjalankan ibadah maka ia akan semakin dekat dengan pemilik hukum sehingga kemungkinan salah dalam mengintegritaskan nilai-nilai tauhid akan semakin kecil.

Sedangkan demokrasi liberal yang tidak mengindahkan aspek spritulitas begitu mudah untuk melakukan kecurangan karna tidak ditopang dengan pondasi yang kuat yaitu Teokrasi, sehingga walaupun seorang pencuri sah-sah saja menjadi perumus undang-undang karna yang menentukan adalah suara terbanyak, akibatnya berbagai macam cara kemudian dilakukan oleh para aktor demokrasi untuk memenangkan kompetisi politik. 

Yang diuntungkan adalah orang yang memiliki kekayaan karena dengan uang-nya mereka bisa melanggengkan kekuasaannya di atas panggung demokrasi dengan membeli suara orang miskin.

****

Pertanyaan kritisnya adalah, siapakah yang lebih pantas untuk menegakkan hukum, orang yang memiliki suara terbanyak ataukah orang yang paling dekat dengan Allah Swt.?

18 Mei 2014
-HS'Masagenae

0 komentar:

Posting Komentar

Halaman

Twitter

 
Support : http://sempugi.org/ | Your Link | Your Link
Copyright © 2014. Haeruddin Syams - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger