Foto Saya

Pages

Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

MELAWAN POLITIK SARA BERBASIS KEARIFAN LOKAL 3’S (Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge)

Seiring dengan tahun politik pemilu serentak 2024 semakin dekat, maka mulailah banyak bermunculan berita hoax di media sosial. Rentetan akun bodong kini gencar melakukan kampanye berbau sara. Tahukah kalian seberapa bahaya isu politik sara itu ? Dalam beberapa kajian akademik mengatakan bahwa politik sara bisa mengancam integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kenapa? karena menebar kebencian sara atas dasar perbedaan pilihan politik itu dapat memecah belah antar kelompok baik itu agama, suku dan ras. Ibaratnya kita menggelendingkan bola salju di gunung bersalju, yang semakin lama akan membesar dan hancur lebur ketika membentur sesuatu yang keras.

Perbedaan suku, kelompok dan ras merupakan pondasi keberagaman terbentuknya bangsa Indonesia, kemudian dikemas dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, artinya meskipun Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan agama serta memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang berbeda-beda, namun keseluruhannya tetap merupakan satu kesatuan dibawah naungan benderah merah putih.

Apa sih defrnisi dari politik SARA ?

SARA merupakan akronim dari Suku Agama Ras dan Antargolongan, jika dikaitkan dengan politik maka defenisinya adalah suatu tindakan politik yang menggunakan ‘sentimen’ perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan untuk mendapatkan suara pendukung dalam rangka memenangkan kompetisi pemilu. Poin ‘sentimen’ ini digaris bawahi karena merupakan benih-benih kebencian yang bisa berujung pada perpecahan hingga kekerasan. 

Dalam undang-undang pemilu nomor 7 tahun 2017 pasal 280 (1) Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu pada poin ‘C’ dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Namun sering kali kita melihat aturan ini tidak diindahkan apa lagi bagi netizen pengguna media sosial. Tak heran jika kita banyak menemukan Bullying yang menginterpretasikan politik sara di facabook, instagram dan youtube.

Masih ingatkah kita dengan istilah ‘Cebong dan Kampret’ produk politik sara pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta 2017. Sampai ada yang mengkampanyekan untuk tidak memilih calon non muslim, tidak mau mensalatkan jenazah hanya karena perbedaan pilihan politik. Dan celakanya lagi, sara itu menjalar ke polosok Negeri, tersebar di media sosial hingga secara tidak lansung itu mempengaruhi alam bawah sadar si pembaca untuk ikut membenci walaupun kita bukan daftar pemilih tetap di Jakarta.

Untuk mencegahnya maka perlu diberikan edukasi kearifan lokal di tiap-tiap daerah. Menjadikan perbedaan suku sebagai spirit kebangsaan untuk saling menghargai walaupun berbeda pilihan, bahwa leluhur kita telah mewariskan pesan-pesan bijak kemanusian kepada kita semua, misalnya dalam suku Bugis di kenal filosofi 3S ‘Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge. 

Sipakatau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah saling memanusiakan, merupakan prinsip kemanusian orang Bugis yang mengajarkan bahwa secara universal hanya ada satu yang disebut manusia yaitu “Ye’ de’ naengka nabbelle rilaleng alemu” (sesuatu yang tidak pernah berbohong di dalam dirimu). Pernahkah kalian ketika ingin melakukan kejahatan, misalnya mencuri tiba-tiba kalian merasakan intuisi berupa larang untuk tidak melakukannya! Yup itulah tafsiran manusia universal yang dimaksud oleh leluhur suku Bugis. 

Kemudian Sipakatau dijabarkan lagi menjadi saling mengarahkan kepada kebaikan dan kebenaran. Saling berkata benar dan saling saling mempercayai, saling memperlakukan manusia kepada kadar yang seharusnya ia diberikan penghormatan yaitu pada kebaikan dan kebenaran (Buku To Ugi hal, 97). 

Sebenarnya mereka yang masih tinggal dalam lingkungan suku Bugis, lazimnya memahami konsep sipakatau ini, cuman butuh sedikit sentuhan moral agar mengingatkan mereka pada jadi diri ke Bugis’annya. Dan ini sejalan dengan undang-undang pemilu, tinggal bagaimana kita mengelabporasi dan memberikan edukasi tentang kampanye dengan prinsip sipakatau. Tapi yang paling utama harus dimulai dari diri sendiri terutama penyelenggara pemilu.

Sipakalebbi artinya saling memuliakan, merupakan turunan dari kata sipakatau. Tau atau manusia, merupakan sesuatu kebenaran dan kebaikan yang bersemanyam dalam diri setiap orang. Kebenaran yang setiap saat hadir dalam bentuk intuisi dalam pribadi tiap individu, sesuatu yang universal yang dimiliki setiap personal, jadi jika seseorang memuliakan orang lain maka ia juga akan memulikan dirinya sendiri. Dari prinsip inilah kita bisa saling menjaga ‘siri na pesse’ sifat rasa malu dan kebersamaan yang menjadikan seseorang manusia mulia.


Memahami Pentingnya Pemilu sebagai Proses Demokrasi

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses demokratis di mana warga negara bisa memilih perwakilan mereka, memilih pemimpin politik atau mewakili mereka dalam lembaga pemerintahan. Pemilu dilakukan secara berkala, seperti setiap beberapa tahun, sesuai dengan peraturan dan jadwal yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan.

Pemilu juga memungkinkan warga negara untuk memilih calon atau partai politik yang mereka percayai akan mewakili kepentingan mereka dengan baik di dalam pemerintahan. Melalui pemilu, mereka memiliki kesempatan untuk memberikan suara agar bisa merencanakan hasil politik serta arah kebijakan negara. Yang terpenting ialah setiap orang memiliki hak untuk memberikan suara yang setara dalam menentukan perwakilan politik mereka. 

Pemilu dapat mencakup berbagai tingkatan pemerintahan, mulai dari pemilihan presiden, anggota parlemen, gubernur, hingga pemilihan kepala daerah. Selain itu, pemilu juga dapat mencakup referendum, di mana warga negara memberikan suara mereka untuk memutuskan masalah tertentu yang penting bagi negara atau masyarakat.

Proses pemilu biasanya melibatkan beberapa tahapan, termasuk pendaftaran pemilih, kampanye politik oleh calon atau partai politik, debat publik, pemungutan suara, dan penghitungan suara. Proses ini diatur oleh hukum dan lembaga pemilihan yang independen untuk memastikan bahwa pemilihan berjalan secara adil, bebas, dan transparan.

Partisipasi  dalam pemilu memberikan warga negara rasa memiliki terhadap negara mereka dan memberikan legitimasi pada pemerintah yang terpilih. Melalui partisipasi aktif dalam pemilu, mereka dapat memberikan sumbangsihnya terhadap pengambilan keputusan politik yang mempengaruhi kehidupannya.

Pemilu juga mencerminkan pentingnya kebebasan berpendapat dalam masyarakat demokratis. Selama kampanye pemilu, calon dan partai politik memiliki kesempatan untuk mengemukakan gagasan dan rencana mereka kepada publik. 

Diskusi terbuka dan debat mengenai isu-isu politik menjadi bagian integral dari proses pemilu. Kebebasan berpendapat memungkinkan warga negara untuk mengkritik dan mengajukan pertanyaan terhadap para calon, sehingga membantu memperkuat akuntabilitas mereka.

Pemilu memainkan peran penting dalam menjaga akuntabilitas pemerintah. Dalam sistem demokrasi, pemilu secara berkala memberikan kesempatan bagi warga negara untuk mengevaluasi kinerja para pemimpin yang terpilih. 

Jika pemimpin tidak memenuhi harapan atau gagal melaksanakan janji kampanye mereka, pemilih dapat menggantinya dengan memilih calon yang lebih baik pada pemilu berikutnya. Akuntabilitas ini mendorong para pemimpin untuk bekerja sesuai kepentingan rakyat dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Kesimpulannya Pemilihan Umum merupakan salah satu fondasi utama sistem demokrasi di mana kekuasaan politik dipegang oleh rakyat. Dengan demikian, pemilihan umum menjadi proses kritis dalam memastikan pemerintahan yang responsif, mewakili, dan akuntabel terhadap kepentingan warga negara.

Sumber Gambar https://shorturl.at/hquY9


Urgensi Peran Masyarakat dalam Proses Pemilu

Sistem demokrasi Konstitusional meletakkan kadaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Kesuksesan demokrasi dilihat dari seberapa besar partisipasi masyarakat dalam menyukseskan pemilihan umum untuk memilih pemimpin baik itu Presiden, Gubernur, Bupati dan wakil rakyat di DPR dan MPR. Peran penyelengara pemilu baik itu KPU maupun pengawas BAWASLU harus aktif memberikan edukasi kepada masyarakat dalam menyalurkan hak suara dan hak berbicara.

Pemilihan umum (pemilu) adalah salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi di berbagai negara yang menganut sistem demokrasi. Pemilu memainkan peran penting dalam menentukan representasi politik, memilih pemimpin, dan menjaga keseimbangan kekuasaan dalam suatu negara. Tulisan ini ditujukan untuk membahas pentingnya partisipasi aktif dalam pemilu serta dampaknya terhadap masyarakat dan proses demokrasi.

Pertama : Mendorong Keterlibatan Masyarakat, Pemilu bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang keterlibatan masyarakat dalam proses politik. Kampanye pemilu memungkinkan masyarakat untuk berdiskusi, berdebat, dan memperdalam pemahaman mereka tentang isu-isu politik yang relevan. Partisipasi dalam pemilu dapat membangun kesadaran politik, meningkatkan pemahaman tentang hak dan kewajiban warga negara, serta memotivasi partisipasi lebih lanjut dalam kehidupan politik.

Kedua : Menghormati Hak Asasi Manusia, partisipasi aktif dalam pemilu adalah hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses politik dan memilih pemimpin mereka tanpa tekanan atau diskriminasi. Pemilu yang bebas dan adil merupakan prasyarat bagi masyarakat yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia.

Ketiga : Memperkuat Legitimasi Pemerintahan, partisipasi yang tinggi dalam pemilu juga penting untuk memperkuat legitimasi pemerintahan. Ketika mayoritas rakyat ikut serta dalam pemilu, pemimpin terpilih memiliki mandat yang lebih kuat untuk mewakili rakyat dan mengambil keputusan yang berdampak pada masyarakat. Dalam demokrasi, legitimasi pemerintah bergantung pada partisipasi yang luas dan kepercayaan publik.

Keempat : Menjaga Akuntabilitas Pemerintah, dengan melibatkan diri dalam pemilu, masyarakat dapat memilih dan mengawasi kinerja para pemimpin yang terpilih. Pemilih dapat memilih calon yang memiliki rekam jejak yang baik dan berkomitmen untuk memenuhi janji-janji kampanye mereka. Dengan demikian, partisipasi aktif dalam pemilu membantu menjaga akuntabilitas pemerintah dan mendorong transparansi dalam pengambilan keputusan politik.

Kelima : Mempengaruhi Pemimpin dan Kebijakan, pemilu merupakan kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang mereka anggap mampu mewakili kepentingan masyarakat. Melalui pemilu, masyarakat dapat mengungkapkan aspirasi, mempengaruhi kebijakan publik, dan mengarahkan arah pembangunan negara. Partisipasi aktif dalam pemilu memungkinkan rakyat memiliki suara yang dihormati dan mempengaruhi pemerintahan.

Keenam : Perubahan Sosial dan Politik, pemilu dapat menjadi tonggak perubahan sosial dan politik dalam suatu negara. Partisipasi yang tinggi dalam pemilu, terutama oleh kelompok yang sebelumnya diabaikan, dapat membawa perubahan kebijakan yang lebih inklusif dan progresif. Pemilu memberikan kesempatan bagi pemilih untuk mengekspresikan aspirasi mereka dan mendorong agenda politik yang baru.

*****

Melalui Partisipasi aktif dalam pemilu memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan, mempengaruhi kebijakan, menjaga akuntabilitas, memperkuat legitimasi pemerintah, dan mendorong keterlibatan masyarakat. Masyarakat perlu menyadari pentingnya hak dan kewajiban mereka dalam proses demokrasi dan memanfaatkan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam pemilu. Dengan demikian, pemilu yang melibatkan partisipasi yang luas dapat memperkuat fondasi demokrasi dan mempromosikan perkembangan yang berkelanjutan dalam suatu negara demokrasi.

Sumber Foto https://shorturl.at/epOZ7

Terbit di media tegasindonesia.online

KEARIFAN LOKAL PEREMPUAN BUGIS

Pada akhir abad ke 18 di belahan bumi barat, tepatnya di Inggris, muncul sebuah gerakan politik diprakarsa oleh seorang perempuan. Ia menyebut kelompoknya dengan women’s movement (gerakan perempuan). Ia mengalami gejolak dalam dirinya karena adanya partisipasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam politik. Perempuan dianggap sebagai sosok inferior, dianggap tidak punya rasionalitas seperti laki-laki.

Untuk itu, ia menilai, penggulingan monarki absolut semestinya akan menjadi momentum bagi perempuan untuk bergerak. “Telah tiba waktunya untuk mempengaruhi sebuah revolusi melalui cara perempuan, telah tiba saatnya untuk memulihkan kewibawaan perempuan yang telah hilang. “tulis Mary Wollstonecraft, lewat bukunya ‘A Vindication of the Rights of Woman. Gerakan ini nanti disebut Feminisme.

Berselang satu abad kemudian (abad ke 19), di belahan bumi timur, tepatnya di ’Pancana Toa’ salah satu kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan, seorang perempuan dinobatkan sebagai Arung (pemimpin). Ia adalah Colliq Pujie. Nama lengkapnya Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa. Ia juga menulis sebuah naskah (buku) dengan judul “Lontaraq Tanete. Selain itu ia juga berperan dalam mengumpulkan catatan kuno, yang dikenal dengan La Galigo, ‘sastra kuno terpanjang di dunia.

Berbeda dengan Mary, Colliq Pujie malah memperkuat integritas monarki absolut untuk melawan imperialisme, yakni penjajahan yang dilakukan oleh kolenial Belanda. Statusnya sebagai perempuan, tidak menjadi penghalang bagi dirinya berdiri digaris terdepan, untuk melakukan perlawanan militer terhadap penjajah.

Sosok Colliq Pujie memberikan gambaran bahwa kebudayaan Bugis tidak mendiskriminasikan perempuan dalam politik kepemimpinan. Perempuan Bugis juga memiliki sisi superior layaknya laki-laki. “Lalu pantaskah ini disebut Feminisme ? Colliq Pujie hanya salah satu dari sekian banyak tokoh perempuan Bugis. Perlu juga diketahui bahwa beberapa kerajaan Bugis memiliki pemimpin pertama (to manurung) mereka adalah sosok perempuan, sebuat saja kerajaan Bugis Suppa di Pinrang.

Dalam sejarah mencatat bahwa perempuan bugis dapat mengambil peran ganda sekaligus. Baik dilingkungan keluarga maupun dalam dunia publik. Perempuan sebagai pendamping suami, perempuan sebagai penggerak sosial kemasyarakatan, dan sebagai pendidik anak, generasi muda yang kelak menjadi penerus mereka. Semua itu ada pada sosok Colliq Pujie Arung Pancana Toa, seorang  istri, ibu, dan Ratu (pemimpin) sekaligus intelektual perempuan dizamannya, sebagaimana disebutkan dalam petuah Bugis. 

“We’dittoi situnreng pung ade’e jemma te’be’e makka’i mancaji dulung papole enrengnge asalewangeng.

(Perempuan juga berhak untuk dipilih seluruh rakyat untuk menjadi pemimpin mereka di jalan kemakmuran dan keselamatan)

Mancaji pattaro tettong rilempu’e punnai cirinna engrenge lampe ‘Nawa-nawa mewai sibaliperri waroanena sappa laleng atuong.

(Menjadi penuntun yang jujur, hemat bijaksana sekaligus mitra pendukung dan penopang dalam mengatasi kesulitan maupun perjuangan dalam mengatasi segala hal)

Kembali ke abad sekarang (abad 21). Seorang kawan pernah bercerita. Dikampungnya Dusun Moti Kabupaten Bantaeng. Dibidang pertanian, jika waktu tanam tiba, perempuan mempunyai peran menanam padi di sawah, setelah sawah itu dibajak oleh laki-laki. Budaya itu sudah turun temurun diwariskan oleh leluhurnya, “tutur kawan. Ini salah satu bukti penerapan kesetaraan gender dalam mengelolah pertanian dan tidak ada pembatasan untuk mengambil peran. Bisakah ini disebut Emansipasi ?

Selain itu, terdapat juga filosofis Bugis yang memberikan penghormatan kepada kaum perempuan untuk kerja-kerja berat, yakni ‘’Makkunrai majjujung, uroane mallempa (Perempuan menjunjung, laki-laki memikul). Maksudnya perempuan hanya membawa satu bawaan (beban), istilahnya majjujung, yakni membawa satu barang dengan menyimpannya di atas kepala.

Sedangkan laki-laki membawa dua barang dengan menggantungkannya pada dua ujung tongkat (pikulan) yang ditaruh di atas bahu. Filosofinya adalah perempuan membawa hanya satu dan laki-laki dua. Beda lagi pada pernikahan, sebaliknya laki-laki memberikan dua dan perempuan hanya meberikan satu agar tidak membebani perempuan secara finansial. Begitulah budaya bugis dalam memberikan keistimewahan terhadap perempuan.

Cuman sangat disayangkan pendidikan formal kita, terlalu berkiblat pada teori barat tentang diskursus Feminisme, Gender, Emansipasi, dan gerakan perempuan lainnya. Apakah mereka tidak mengetahui perempuan Bugis, Colliq Pujie tidak kalah tangguhnya jika disandingkan dengan Mary Wollstonecraft?

Diakhir tulisan ini saya ingin mengutip petuah Bugis, tentang peran perempuan bugis sebagai Istri dan Ibu?

 mancaji Indo Ana Tettong ridecengnge tudang ripacingnge” Terjemahan : Menjadi seorang Ibu yang berada pada kebaikan dan kebersihan (sholeh dan suci)

Sementara pesan untuk perempuan yang sudah menikah (berstatus sebagai Istri).

mancaji siatutuiang siri na enrengnge napabbatina ritomatoanna, riselessureng macoana lettu ri’orowanena. Terjemahan : Menjaga kehormatan diri dan keluarga, menjadi kebanggaan orang tua beserta saudara dan suaminya.

Fatimah Ummul Banin Sagena
Foto hanya pemanis

Makassar, 12 Maret 2021

Nurfasirah Muh. Nur

(Aktifis Perempuan)

WISATA BUDAYA MAKASSAR, BENTENG FORT ROTTERDAM

PARADOKS BENTENG FORT ROTTERDAM, Peninggalan Kerajaan Gowa atau Belanda? 

Oleh Haeruddin Syams

Di hulu Jalan Ujung Pandang Kota Makassar terlihat deretan batu hitam yang tersusun rapi menjulang ke atas, kira-kira tingganya sekitar 5 meter. Batu itu kukuh membentuk sebuah benteng menghadap ke bibir pantai kota Makassar yang luasnya tidak lebih dari 2 kali lapangan sepak bola. 

Terlihat aksara latin berwarna merah di bibir jalan trotoar bertuliskan “Fort Rotterdam”. Tepat di bagian depan benteng terlihat patung seorang laki-laki memakai pengikat kepala yang mengarahkan jari telunjuknya ke depan, berwarna putih sambil mengendarai seekor kuda.

Benteng yang berbentuk persegi itu memiliki taman tepat di tengah, tersusun pula bangunan tua mengelilingi pinggir bagian dalam banteng. Di sekitaran taman bunga tampak dua orang perempuan berpose sembari salah seorang temannya mengabadikan gambar di handphone mereka. Ada juga pengunjung yang hanya duduk santai  menikmati pemandangan taman. 

Daya tarik wisata budaya Fort Rotterdam memikat banyak pengunjung yang berdatangan dari berbagai daerah, kata teman saya “mereka akan merugi jika jalan-jalan ke Kota Makassar kemudian tidak main ke Benteng Fort Rotterdam. Tempat yang menakjubkan untuk memanjakan mata, dan wajib bagi kalian mengabadikan dalam koleksi foto smartphone

*****

Dalam sejarah tercatat, sebelum kekalahan kerajaan Gowa di perang Makassar (1667) oleh Belanda belum ada yang namanya Fort Rotterdam. Tameng kuat di pesisir pantai Makassar itu bernama benteng Jumpandang atau Ujung Pandang. Namun sebelum nama itu, orang Gowa-Tallo dulu menyebutnya dengan Panyyua

Pada awal pembangunan benteng oleh Raja Gowa ke 9, Daeng Matanre, Karaeng Manguntungi Tumapparisi Kallonna pada tahun 1545, benteng itu dibuat menyerupai penyu (Panyyua, dalam ejaan bahasa Makassar), menghadap ke bibir pantai seolah-olah ingin bergerak turun ke laut, itulah alasan kenapa disebut dengan Panyyua

Sketsa Benteng Panyyua
Sumber, grup FB Sejarah Makassar Oleh Natsir

Ada dua masa untuk menyempurnakan bangunan benteng. Pertama saat Raja Gowa ke 10, beliau menambahkan batu karang yang awalnya hanya berupa tanah liat. Kedua Sultan Alauddin Raja Gowa ke 14. Dimasanya benteng dibuat dinding persegi empat dengan meggunakan batu. Dibangun pula rumah panggung khas Makassar yang terbuat dari kayu beratapkan daun nipah sebagai pumukiman prajurit kerajaan Gowa.

Hanya saat ini saya belum mendapat informasi terkait perubahan nama dari Benteng Panyyua ke Jumpandang. Kalau Fort Rotterdam sendiri merupakan pemberian dari Belanda. Ketika Gowa kalah perang, Belanda mengambil alih benteng tersebut untuk dijadikan pusat pemerintahan dan komando pertahanan serta gudang penampungan rempah-rempah.  

Nama Fort Rotterdam merupakan kota kelahiran Cornelis Speelman, ia seorang panglima pasukan Belanda yang menjadi pemimpin pada saat perang penaklukan kerajaan Gowa. Selain mengganti nama, Belanda juga melakukan perombakan total terhadap bentuk dan struktur benteng serta membangun rumah dengan desain eropa sebagai tempat tinggal mereka.

*****

Setelah kemerdekaan pada tahun 1970, Benteng Fort Rotterdam diambil alih oleh departemen pendidikan dan kebudayaan untuk dijadikan sebagai cagar budaya yang bertanggng jawab atas perawatan hingga pelestariannya. Dibuatlah beberapa fasilitas seperti Museum La Galigo Provinsi Sulawesi Selatan, Perpustakaan, Musollah hingga taman bermain anak-anak. 

Untuk memudahkan pengunjung mengetahui fungsi tiap bangunan, maka diberi tanda huruf tiap gedung mulai dari A sampai P beserta dengan keterangannya. Misalnya gedung N dulunya digunakan untuk menerima tamu dan sempat pula dijadikan ruang tahanan Pangeran Diponegoro saat ia tertangkap oleh pasukan Belanda. 

Bangunan 'N'
Oleh Haeruddin Syams

Saat ini pengelolah juga menyediakan jasa penyewaan gedung dan halaman benteng, jika ingin membuat sebuah kegiatan dengan tema budaya. Beberapa kali saya dapatkan pentas seni diselenggarakan, sempat pula event Internasional yakni Festifal Aksara Lontaraq. Tahun 2015 yang lalu saya beserta kawan Lontaraq Project pernah membuat pameran dalam rangka meramaikan World Heritage Day di benteng Fort Rotterdam. ( baca tulisannya disini )

Ada beberapa kesan saya dapatkan setelah kunjungan di benteng Fort Rotterdam. Pertama, saya heran kenapa pemerintah tidak mengembalikan nama benteng Fort Rotterdam menjadi benteng Jumpandang atau Panyyua !? kesannya seakan-akan kita mengabadikan kekalahan perang dan proses jatuhnya benteng ketangan Belanda. Cornelis Speelman saja lansung mengganti namanya sesaat setelah mengambil alih benteng. Dengan penyebutan Fort Rotterdam itu juga akan menjadi pengaburan sejarah sebelum dikuasai oleh Belanda.

Kedua saya kurang sepakat dengan pernyataan beberapa kawan ketika benteng Fort Rotterdam dijadikan sebagai identitas Makassar. Cobalah sejenak berjalan mengelilingi benteng, mulai dari pintu gerbang melangkahkan kaki dari ujung kanan hingga ke ujung kiri kemudian kembali lagi ke pintu gerbang. Adakah yang kalian lihat sesuatu yang memiliki ciri khas Makassar (kerajaan Gowa-Tallo)? Dinding beserta struktur bangunan yang sangat identik dengan desain klasik eropa tepatnya bangunan-bangunan Belanda.

Paradoks benteng Fort Rotterdam, apakah peninggalan Kerajaan Gowa atau Belanda ? 

Mungkin yang tersisa hanya lokasinya, bahwa di tanah itu dulunya pernah dibangun sebuah benteng yang mirip penyu oleh arsitek perang kerajaan Gowa.


Membaca Sejarah Islamisasi Suku Bugis Makassar

Pekan ini dengan adanya wabah covid19 kantor saya mengambil kebijakan Work From Home (WFH). Di rumah, sembari menyelesaikan pekerjaan kantor, saya menyempatkan diri untuk membaca buku Islamisasi kerajaan Gowa, oleh Prof. DR. Ahmad M.Sewang, M.A. Dengan segala keterbatasan, saya hendak berbagi bacaan melalui tulisan ini.

Naskah  kuno suku Bugis-Makassar yaitu lontara, mencatat peristiwa bagaimana masuknya agama Islam di beberapa kerajaan Sulawesi Selatan. Adapun naskah tersebut adalah Lontara Bilang, Lontara Pattorioloanga Togawaya, Lontara Pattorioloanga ri Totallo, dan Lontara Sukkuna Wajo.

Mungkin masih ada lontara lain yang merekam penyebaran Islam, tapi yang saya dapatkan sejauh ini hanya empat lontara di atas. Selain naskah kuno kita juga bisa melacak proses islamisasi melalui prasasti-prasasti, cerita tutur rakyat, benda-benda pusaka dan tempat-tempat bersejarah.

Tapi dikesempatan ini saya lebih merujuk kepada naskah Lontara sebagaimana Prof. Ahmad menuliskan dalam bukunya. Agar lebih mudah dipahami saya akan membagi tiga masa penyebaran agama Islam suku Bugis-Makassar.

Masa Tiga Datuk

Di Awal abad XVII tiga orang mubalig, Abdul Makmur, Sulaiman, dan Abdul Jawad dari Koto Tangah Minangkabau datang ke tanah Sulawesi, mereka dikenal dengan tiga orang datuk, datuk tallua (Makassar) datuk tellue (Bugis), yaitu Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, Datuk ri Tiro.

Mereka juga kadang dipanggil dengan sapaan Khatib Tunggal, Khatib Sulung, dan Khatib Bungsu. Kedatangan tiga datuk inilah kemudian dijadikan rujukan sebagian sejarawan sebagai awal penyebaran agama Islam.

Penyebaran Islam oleh tiga Datuk di mulai dari tanah Luwu hingga Raja Luwu La Patiware Daeng Parabu masuk Islam pada hari jum’at 15 Ramadan 1013 H bertepatan dengan 4 Februari 1605 M. Kemudian Raja Luwu diberi gelar Sultan Muhammmad Waliy Muzahir al-Din.
Dari Luwu ketiga datuk melanjutkan dakwah ke tanah Gowa atas usulan Raja Luwu. Berkata Raja Luwu “Alebbiremmani engka ri-Luwu, awatangeng engka ri-Gowa” (Hanya kemuliaan saja yang ada di Luwu, sedangkan kekuatan terdapat di Gowa).

Strategi dakwah ketiga Datuk dalam proses mengislamkan di Sulawesi Selatan dengan cara menyebar satu sama lain. Datuk ri Bandang di Gowa-Tallo, Datuk Patimang tetap tinggal di Luwu, sedangkan Datuk ri Tiro bertugas di daerah Tiro Bulukumba.

Mereka melakukan penyiaran agama Islam dengan cara yang berbeda sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Jadi tidak heran kemudian jika kita menemukan budaya Bugis-Makassar yang terikat dengan ajaran Islam, karena adanya akulturasi Islam dengan budaya lokal.

*****

Sehubungan dengan kepergiaan Datuk ri Bandang ke Gowa-Tallo, tiba-tiba saya teringat cerita seorang kawan tentang asal asul penamaan kota Makassar. Ini versi cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun. Alkisah, di pesisir pantai kerajaan Tallo telah berlabuh sebuah kapal membawa seorang lelaki yang tidak dikenal.

Ia datang dengan menggunakan perahu ajaib yang terbuat dari kulit kacang hijau. Saat tiba di pantai ia lansung melaksanakan sembahyang. Kejadian itupun terekam dalam benak masyarakat setempat hingga menjadi buah bibir.

Tak lama berselang cerita pun sampai ditelinga Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyonri Karaeng Katangka. Ia bersegera datang untuk menemui lelaki itu. Akan tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang lelaki tua.

Mau kemana engkau dengan begitu terburu-buru, “Tanya orang tua itu. Aku hendak menemui seorang lelaki yang sedang hangat dicerita oleh rakyat ku, “jawab Raja Tallo. Mengetahuinya, orang tua itu kemudian menuliskan sesuatu di atas ibu jari Raja Tallo untuk diperlihatkan kepada lelaki yang hendak ditemuinya sembari menitipkan untuk disampaikan salam.

Bertemulah Raja Tallo dengan lelaki itu, sesaat setelah ia selesai menyampaikan salam kemudian lelaki itu menjawab salamnya sambil mengatakan, “bahwa yang tertulis di ibu jarinya adalah surat Al-Fatiha. Yah, Engkau telah bertemu dengan nabi Muhammad, Rasulullah SAW, “tambahnya lagi.

Pertemuan Raja Tallo dengan Rasulullah SAW disebut dalam bahasa Makassar, “Makkasara’mi Nabbi Muhammad ri buttaya ri Tallo” (Nabi Muhammad SAW, menampakkan diri di Kerajaan Tallo). Nama itu kemudian menjadi awal penyebutan Makassar.

Bagi saya cerita rakyat tentang asal usul nama Makassar merupakan bukti bahwa kita memiliki budaya tutur yang sangat kaya akan makna, yang penuh dengan teka-teki, jadi kita cuma butuh mengabadikannya dalam sebuah tulisan dengan baik tanpa harus melakukan penilaian benar atau salah, karena butuh kajian lebih jauh untuk memahami cerita rakyat di atas yang tidak sempat dibahas dalam tulisan ini, intinya cerita itu tidak akan bisa di pahami  secara tekstual.

Adapun peristiwa kedatangan tiga Datuk tercatat dalam lontaraq Wajo yakni pada abad ke XVII. Jadi kalau merujuk pada masa ini agama Islam masuk ke sendi-sendi kehidupan suku Bugis-Makassar sekitaran tahun 1600-1700an.

Masa Islam Diterima Secara Resmi Oleh Kerajaan-Kerajaan

Jum’at 22 September 1605 M/ 09 Jumadil Awal 1014 H. Raja Tallo Karaeng Matoaya bersyahadat dan menerima agama Islam menjadi keyakinannya. Ia pun diberi gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam. Semasa dengan itu Raja Gowa Karaeng I Mangngarangi Daeng Manra’bia pun memeluk agama Islam dengan gelar Sultan Alauddin. Kedua kerajaan inilah yang kemudian akan mengambil peran besar dalam proses Islamisasi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.

Dua tahun berselang yakni 09 November 1607 M/ 19 Rajab 1016 H untuk pertama kalinya sholat jum’at dilaksanakan di Tallo. Raja Sultan Alauddin pada saat itu juga menyampaikan keputusan dihadapan para jamaah, bahwa kerajaan Gowa resmi menjadikan Islam sebagai agama kerajaan dan sebagai pusat Islamisasi. Lembaga sarak pun dibentuk dalam struktur kerajaan  yang dipimpin oleh Daeng Ta kaliya (Makassar) Petta Kalie (Bugis).

Lembaga sarak berfungsi untuk mengatur masalah keagamaan dalam masyarakat seperti nikah, talak-rujuk, warisan, zakat, serta pengurusan tempat ibadah. Bertanggung jawab pula atas dakwah Islam di kalangan rakyat Gowa-Tallo guna memperdalam ilmu  keislaman.

Pemimpin lembaga sarak Daeng Ta kaliya dibantu oleh pejabat di bawahnya, yaitu Daeng Imang, Guruwa, Katte, Bidala, dan Doja atau Jannang Masigi. Mereka biasanya dipanggil sebagai pegawai sarak (aparat keagamaan). Jadi semua kegiatan keagamaan seperti penentuan awal puasa, Lebaran, sholat jumat, dan hari-hari besar Islam lainnya harus melalu Lembaga sarak.

*****

Penerimaan Islam oleh Gowa-Tallo menjadi awal untuk menyebarkan Islam di kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, Raja Gowa melalui politik Islamisasi menggunakan perjanjian yang dulu pernah disepakati oleh beberapa kerajaan seperti, Bone, Soppeng, Wajo, Sawitto, Suppa, Alitta, Sidenreng, Rappang dan kerajaan-kerajaan yang lain.

Adapun bunyi perjanjian tersebut, ‘’Barang siapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia harus memberitahukan kepada raja-raja sekutunya’’.

Raja Sultan Alauddin pun mengirim utusannya ke berbagai kerajaan untuk meyampaikan penerimaan Islam di kerajaan Gowa, serta menyampaikan ajakan kepada para sekutunya untuk memeluk agama Islam. Awalnya penyiaran agama Islam dilakukan secara damai, itulah kenapa setiap utusan Raja Gowa membawa hadiah untuk diberikan kepada kerajaan sekutunya.

Hadiah ini sebagai simbol penghormatan Raja Gowa kepada para sejawatnya. Ada beberapa diantara Raja yang menerima hadiah dan ajakan itu, maka Raja tersebut akan memberikan balik hadiah kepada Raja Gowa sebagai tanda terima kasih.

Adapun kerajaan yang menolak maka diselesaikan dengan peperangan. Dari situlah kemudian muncul istilah Musu Selleng (Bugis) atau Bundu’ Kasallanga (Makassar) yang artinya adalah musuh Islam.
*****

Pernah seorang kawan berdiskusi dengan saya, ia menyampaikan bahwa masyarakat di Wajo sudah mengenal Islam sebelum Gowa datang membawanya. Hanya saja belum secara resmi diterima oleh pihak kerajaan.

Bukan cuma di Wajo itu juga terjadi di beberapa kerajaan lain. Ini merupakan bukti bahwa nyawa Islam sudah lama hadir dalam sendi-sendi masyarakat dan mungkin saja proses dakwahnya secara sembunyi-sembunyi. Jadi tidak heran ketika Islam begitu mudah diterima di kerajaan-kerajaan Bugis Makassar.

Adapun peristiwa masuknya Islam Raja Gowa dan Tallo tercatat dalam tiga lontaraq :

  • Lontaraq Tallo : malam Jumát 09 Zulhijah 1025 H/ 20 September 1605 M
  • Lontaraq Bilang : malam Jumát 09 Jumadi I 1015 H/ 22 September 1603 M
  • Lontaraq Gowa : hari jumát 09 Jumadi I / 22 September (tidak ada keterangan tahun)

Masa Perdagangan

Tahun 1513 M, Tome’ Pires mencatat dalam perjalanannya melaut dari Malaka ke laut Jawa, bahwa dia telah menemukan orang-orang Makassar sebagai pelaut ulung. Ia mengemukakan bahwa ‘’Orang-orang  Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, negeri Siam dan juga semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam”.

Pada saat itu perdagangan masih dikendalikan oleh pedagang Melayu Muslim, sebelum kedatangan orang-orang Eropa yang memonopoli semua perdagangan di kawasan Asia Tenggara.

Catatan Pires bisa memberikan gambaran, bahwa interaksi orang-orang Makassar sudah terjalin dengan pedagang Melayau Muslim di tahun 1500an. Itu berarti sebelum kedatangan tida datuk.

Meskipun masa ini tidak termuat dalam lontara tapi kita bisa mengambil asumsi, bahwa bisa saja hubungan dagang antara orang-orang Makassar dengan pedagang muslim mereka mempelajari agama Islam dan menjadikannya sebagai sebuah keyakinan. Mungkin saja sudah ada pedagang Makassar yang sudah menjadi muslim sebelum Kerajaan Gowa dan Tallo di terima secara resmi di tahun 1606 M.

Pada zaman Raja Gowa Tonipallangga (1546-1565 M) ia memindahkan pusat pemerintahan dari Bonto Biraeng ke Maccini Sombala yang diberi nama Somba Opu. Ini karena posisinya sangat strategis untuk jalur perdagangan, berada di muara sungai Jeneberang yang berhadapan lansung dengan laut. Perpindahan ibu kota kerajaan ini pun sangat berdampak baik terhadap perdangangan Gowa yang semakin berkembang.

Banyak pedagang Melayu Muslim  yang berdatangan ke Gowa hingga diantara mereka ada yang sampai bermukim. Melalui jalur perdagangan sebenarnya sudah banyak masyarakat Bugis-Makassar menjalin interaksi dengan para pedagang Melayu Muslim dan tidak menutup kemungkinan banyak diantara meraka yang sudah menjadi Muslim sebelum kedatangan tiga datuk di abad ke XVII.

Analisa

Pertama, penafsiran catatan lontaraq tentang masuknya Islam Raja Gowa-Tallo pada tahun 1605 M tidak bisa ditafsirkan sempit secara teks. Pengenalan Islam tidak langsung serta merta mengucapkan dua kalimat syahadat akan tetapi perlu dulu pemahaman tentang usuluddin (dasar-dasar ajaran Islam), seperti ilmu Tauhid, Nubuwwah, hari akhir, qada dan qadar.

Untuk melakukan sholat Jum’at pertama saja setelah ajaran Islam resmi diterima Kerajaan Gowa-Tallo nanti setelah dua tahun kemudian yakni 1607 M.

Bagaimana dengan mengajarkan Usuluddin? Mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk mendakwakannya agar bisa diterima sebagai keyakinan dan sebagai konsekuensinya adalah masuk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Yang kedua, hubungan dagang masyarakat Bugis-Makassar dengan pedagang Muslim Melayu sudah terjalin lama jauh sebelum Islam dibawah oleh tiga datuk.  Meskipun tidak tertulis dalam lontara tapi catatan Tome’ Pires bisa dijadikan sebagai rujukan, bahwa interaksi itu pernah terjalin.

Kemungkinan adanya pedagang Bugis-Makassar memeluk agama Islam bisa saja terjadi, hingga mereka pulang ke kampung halaman dan memperkenalkannya dengan keluarga dan orang-orang terdekat mereka, hanya saja kita perlu melacak data sejarah untuk menguatkan hal tersebut. 

Ketiga, saya pernah mendengar sebuah diskursus yang menceritakan tentang Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini sudah membawa agama Islam di tanah Bugis-Makassar tepatnya di Tosora Wajo pada tahun 1300an. Cuman saya belum menemukan data sejarah akan hal itu seperti yang dijelaskan pada Lontara Bilang, Lontara Pattorioloanga Togawaya, Lontara Pattorioloanga ri Totallo, dan Lontara Sukkuna Wajo tentang sejarah masuknya Islam. 


Maqam Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini

Di luar sana bisa saja ada diskursus lain yang belum saya dapatkan mengenai kedatangan Islam dalam sendi-sendi suku Bugis-Makassar sebelum tahun 1300an. Adakah dari pembaca sekalian yang ingin berdiskusi atau berbagi data dan cerita mengenai jejak Islam suku Bugis-Makassar?

Makassar, 12 April 2020

SEJARAH & PROFIL KELURAHAN PEKKABATA KABUPATEN PINRANG

Sret..srett..bush… “suara angin hempasan bola sepak yang melesat kencang dari kaki seorang anak yang masih remaja, sepintas ia tampak begitu pandai memainkan bola dengan kedua kakinya, ia berlari kencang dibanyang-bayangi oleh lawan yang ingin merebut bolanya.

Tapi ia amat tangguh bagi lawannya, seorang kawannya teriak, “gol tendangan kaki kanannya melesat, menikung masuk ke gawang. Hmm, Aku teringat saat aku seusia anak itu sama-sama hebat mencetak gol.

Kini lapangan bola Pekkabata kembali menjadi titik kumpul pemuda-pemudi. Kabar bahagia dari kawan katanya tahun ini Pekkabata akan menjadi tuan rumah acara perayaan kemerdekaan 17-an di kecamatan duampanua kabupaten Pinrang jadi lapangannya dapat kucuran dana perbaikan dari pemerintah setempat.

Masih hangat dalam ingatan ku sebuah narasi cinta yang aku buat di beranda Facebook ku, (bacadisini) sebuah curahan hati melihat lapangan tampak seperti kebun yang di tinggal pemiliknya dan saat musim hujan terlihat mirip kolam ikan karena genangan air.

*****
Dulu, kelurahan Pekkabata merupakan pusat niaga wilayah teritorial Arung Paria (swapraja Paria), sekarang desa Paria. Pekkabata berasal dari kata “Pakka Bata Paria” yakni jalan menuju Paria. Disebut Pakka Bata karena jalan itu merupakan percabangan jalan utama ke desa Paria. Itulah alasan diejakan bersama Pakka Bata Paria. Kata "Pakka Bata, dalam bahasa indonesia yaitu "Jalan bercabang. Tepatnya percabangan jalan menuju ke Paria.

Aku pernah mendengar seorang teman ku yang berasal dari Paria saat masih duduk di bangku SMP 1 Pekkabata, “Katanya nenek moyangnyalah yang pertama kali membuka kampung di Pekkabata.

Pekkabata menjadi pusat kota, karena mudah di akses. Letaknya pas sebelah jalan bagian timur trans Provinsi Sulawesi. Penduduknya mayoritas transmigran dari Sidenreng Rappang bahkan ada dari Jawa hingga di kampung ku ada kampung berasal dari nama Jawa yakni Taman Sari dan Sidomulyo. Uniknya lagi sebalah barat bermukim etnik berbeda orang di kampung ku bilang Pattinjo sedangkan di Pekkabata adalah suku Bugis.

Bisa jadi ada pengaruh dialek-bahasa transmigran sehingga ejaan “Pakka Bata Paria” berubah menjadi Pekkabata Paria. Hingga sekarang di sebut Pekkabata atau mungkin saja untuk lebih memudahkan penyebutannya. Entahlah, aku belum punya banyak informasi tentang itu.

Ada juga sebagian orang tua di kampung ku mengatakan, sebelum mejadi kelurahan, Pekkabata di pimpin oleh Arung Paria. Cuman pusat keramaiannya di Pekkabata. Itulah yang menjadi cikal bakal sehingga dibuat pasar Pekkabata sebagai pusat perdangangan masyarakat. 

Pasar Pekkabata
Foto oleh Haris
Saat ini Pekkabata adalah ibu kota kecamatan duampanua kabupaten Pinrang. Awalnya setiap camat-lurah yang memimpin di Duampanua merupakan keluarga bangsawan yang digilir dari tiap-tiap kecamatan di Pinrang, ada dari pihak keluarga Arung Paria dan bangsawan lain.

Penetapannya dari penunjukan lansung Bupati. Begitu tutur yang pernah aku dengar dari tokoh masyarakat. Jadi pemimpin dari Bupati hingga Kecamatan-Kelurahan mempunyai irisan darah. Tapi sekarang sudah berubah mengikuti sistem pemerintahan dan perpolitikan zaman kekinian.

Aku pernah mendengar cerita seorang pria paruh baya saat kami sedang duduk santai sambil minum kopi. “Bagian selatan Pekkabata, yakni Cacabala, Kaliang, Batu-batu, dan Patommo adalah warga pendatang yang meminta tempat tinggal dan penghidupan kepada Arung (pemimpin) "tutur pria itu sambil menikmati kopi dihadapannya.

Kemudian mereka memberikan nama tempat tinggalnya sesuai dengan asal mereka seperti Batu-batu, adalah orang yang berasal dari kampung Batu-batu Kab. Soppeng. Tapi sekarang Kaliang, Batu-batu, dan Patommo sudah berpisah secara administrasi dari kelurahan Pekkabata, menjadi desa Kaliang.
*****

Secara georafis kelurahan Pekkabata berada pada ketinggian 2,21 mdpl dengan curah hujan rata-rata 68,55 serta suhu rata-rata 23®C. Luas kurang lebih 168.000 hektar. Jumlah penduduk sebanyak 6.549 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 2.996 dan perempuan sebanyak 3.553 jiwa, serta kepala keluarga sebanyak 1.233 KK.

Jarak Pekkabata dari ibu kota Kabupaten sekitar 22 km biasanya di tempuh dengan waktu 30 menit. Adapun batas wilayah sebagai berikut.


·           Sebelah utara dan timur berbatasan dengan Kelurahan Lampa
·           Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Katomporang
·           Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Tatae


Pekkabata merupakan salah satu daerah potensi pertanian padi yang sangat baik, sebagian besar sawah berada wilayah selatan kelurahan. Sedangkan di bagian utara tepatnya di pasar Pekkabata kebanyakan pedagang.

Institusi pelaksana administrasi terbagi majadi dua lingkungan yaitu lingkungan Pekkabata dengan 4 kepala RK, dan Lingkungan Cacabala dengan 4 kepala RK pula. Mereka secara lansung membantu pagawai kelurahan untuk menata administrasi warga kelurahan Pekkabata.

Sarana dan Prasarana Kelurahan Pekkabata

1.TK / Play Grup = 4
2. Sekolah Dasar (SD) = 5
3. SLTP = 3
4. Pasar = 1
5. Masjid = 5
6. Lapangan Sepak Bola = 2
7. Luas Sawah irigasi sekitar 39,97 Ha

Aku sadar tulisan ini jauh dari kesempurnaan mohon kritikan dan masukan pembaca. Isi tulisan murni dari pengalaman penulis sebagai warga Kelurahan Pekkabata. 
Semoga bermanfaat, Hormat ku








Apakah Lembaga Adat Masih Relevan di Negara Kita !?

ilustrasi "Balla Lompoa"


MAU di bawah kemana lembaga adat kita? Yah itu pertanyaan yang sangat menggelitik dalam benak saya. Pertanyaan yang menjadi hantu gentayangan, memudarkan warna-warni harapan yang saya sandarkan kepada lembaga adat. Saya tidak paham kenapa bisa lembaga adat sekarang seolah-olah terikat garis komando dari Presiden, Gubernur, Bupati, dan jabatan politik lainya.

Tidak heran jika kita pernah mendapati pemimpin lembaga adat di lantik oleh pemilik kuasa ala demokrasi Negara kita. Bahkan saya sempat mendengar cerita bahwa ada seorang pemimpin lembaga adat yang di tunjuk lansung oleh Bupati. Hah! Kok bisa?

Padahal dulu lembaga adat merupakan pemilik hamparan tanah di Nusantara. Berdaulat secara geografis untuk mengelolah sumber daya alamnya, sebelum pada akhirnya melebur dalam NKRI (negara kesatuan republik Indonesia) dan lambat laun mereka pun kehilangan taring akan kuasa yang di wariskan para leluhur mereka. 

Tapi ajaibnya kota Yogyakarta, masih mampu mempertahankan sistem tradisional itu, sampai sekarang! Ini membuktikan bahwa lembaga adat tidak bisa dipisahkan dari Indonesia yang telah mengadopsi demokrasi barat. Sampai kapan pun lembaga adat akan selalu tercatat rapi dalam buku sejarah kita. Semoga kita tidak pernah melupakan sejarah ke-emasan perdagangan kerajaan Gowa di Asia paca runtuhnya kerajaan melayu Malaka akibat invasi militer Portugal.

****

Saat ini dalam bingkai persatuan Bhineka Tunggal Ika masih terdapat lembaga adat yang eksis di bangsa kita. Negara yang mewarisi domain kerajaan se-Nusantara. Terkhusus di Sulawesi-Selatan indikator keberadaannya bisa kita saksikan saat dewan adat Luwu tahun 2014 kemarin  memberikan gelar kebangsawanan kepada mantan presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Berita itu gempar dan sempat menjadi perbincangan di media sosial oleh para pemerhati budaya. 

Di tambah lagi bulan November 2015 lalu terjadi peristiwa serupa di mana Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Polisi Badrodin Haiti mendapat gelar yang sama dari lembaga adat bumi Arung Palakka. Yang heboh di wartakan oleh jurnalisme kita dan menuai respon pro-kontra di masyarakat terutama mahasiswa asal Bone yang kuliah di Makassar hingga mereka melakukan aksi demonstrasi untuk menyikapainya. 

Saya sempat terkejut karena diberikan tawaran salah seorang teman pengurus organisasi daerah (organda) Bone untuk menjadi pembicara terkait masalah itu. Sontak saya menolak karena isunya sangat sensitif, meskipun itu hanya dalih saya karena sebenarnya saya menanganggap kapasitas intelektual saya tidak kompeten untuk berbicara masalah gelar yang disebut-sebut sebagai  milik orang yang berdarah biru. "Entahlah, kita anggap saja itu benar!

Tapi dikesempatan ini saya tidak tertarik membahas tanggapan masyarakat terkait kontroversi pemberian gelar tersebut. Menurut saya setiap orang punya gagasan dan ekspektasi tersendiri. Saya hanya ingin memberikan gambaran akan impian dan harapan saya sebagai bentuk pengakuan saya terhadap eksistensi lembaga adat di bumi pertiwi kita. 

Bagi saya lembaga adat sangat ideal untuk bangsa kita kerena merupakan sistem pemerintahan yang lahir dari rahin budaya kita sendiri walaupun sudah tergeser oleh pesta demokrasi impor. "Sungguh ironis. Saya membagi beberapa poin impian dan harapan tersebut :

  1. Lembaga adat harus hadir ditengah-tengah masyarakat kita tanpa membeda-bedakan kalangan proletar dan borjuis. Ia harus hadir ketika tanah kami di rampas dan dipalsukan akta kepememilikannya oleh para pemodal, ketika rumah-rumah kami di gusur untuk membangun mall, ketika pengairan di tutup saat sawah kami membutuhkan air, ketika hutan kami di bakar dan di eksploitasi, ketika kebijakan-kebijakan pemerintah tidak memihak kepada rakyat.
  2. Lembaga adat harus mengapresiasi mereka para pemerhati budaya, mereka yang peduli akan pentingnya menjaga dan melestarikan budaya kita tidak hanya sibuk memberikan gelar kebangsawanan kepada pejabat pemerintahan. Misalnya organisasi yang berbasis kebudayaan baik itu  organisasi mahasiswa internal dan eksternal kampus  ataupun LSM  (lembaga swadaya masyarakat) beserta seniman, musikolog, maestro lokal kita. Jujur, saya sangat terinspirasi oleh senior saya Andi Rahmat Munawar. Ia adalah budayawan yang aktif menulis tentang kebudayaan Bugis-Makassar dari segala aspek, sebut saja gagasannya tentang "Qou Vadis Lembaga Adat"? yang menjadi inspirasi saya membuat tulisan ini. Bisa di baca di blog pribadinya di sini www.diskusilepas.com
  3. Lembaga adat harus menjadi mediator untuk mengajarkan pengetahuan dan kearifan lokal warisan nenek moyang kita. Di Bugis-Makassar terdapat segudang ilmu yang terabaiakan oleh generasi muda kita. Seperti  Lontaraq Sebbo, "kitab yang membahas tentang etika suami-istri secara islami. Lontaraq sissi, "kitab yang membahas karakter manusia dari tampilan fisik. Lontaraq abbolang, "kitab yang membahas adab-adab bagaimana cara membangun rumah. Lontaraq bessi, "kitab yang menyajikan proses pembuatan badiq. Dan masih banyak lagi yang tidak sempat saya tuliskan di sini.
  4. Seyogyanya sebuah sistem pemerintahan, lembaga adat harus merekonstruksi dan memperjelas  struktur dan hukum-hukumnya. Prof. Dr. Mattulada menjabarkan perangkat-perangkat adat dalam bukunya La Toa : 1985. "Arung Bila, membagi ade' (adat) atas lima bahagian, menurut pangkal kejadian, nilai, dan sasaran kegunaan. Pertama : ade'puranonro adalah ade' yang tidak boleh mengalami perubahan-perubahan lagi. Suatu azas yang menjadi pangkal dari seluruh azas ade' lainnya. Kedua : Ade maraja ialah adat yang dimufakati berdasarkan janji tentang batas-batas berlakunya. Ketiga : Tuppu, semacam ketetapan bagian dari ade' yang mengatur jenjang dan tingkat-tingkat ketetapan dalam kekuasaan pemerintahan. Berlakunya ade' tuppu apabila terjadi sengketa diakalangan pekatenni ade' (pemangku adat). Keempat : Wari adalah semacam ketentuan pula, bahagian dari ade' yang mengatur jori (batas-batas) hak dan kewajiban orang dalam bermasyarakat. Kelima : Rapang adalah sesuatu ketentuan yang penting dalam ade'. Di dalam hal orang berkehendak mengambil landasan-landasan baru, jika sebelum itu telah terjadi peristiwa yang semacamnya. Untuk lebih lengkapnya silahkan baca di buku La Toa bab III.
  5. Lembaga adat harus mendorong agar pemerintah dan investor harus menganut kerjasama kemitraan dengan masyarakat adat untuk menciptakan ekonomi kerakyatan yang tidak hanya menguntungkan kelompok dan orang-orang tertentu. "Pola Kemitraan adalah pola kerjasama usaha yang saling membutuhkan, menguntungkan dan saling menguatkan secara berkesinambungan. Dalam hal ini, pengembangan pola kemitraan yang melibatkan pemerintah, swasta, dalam hal ini investor dan masyarakat sudah saatnya dilakukan dan dilaksanakan. Pada pola kemitraan itu juga, para petani dalam hal ini masyarakat adat setempat, diajak turut bertanggung jawab dalam kegiatan on-farm suatu perusahan perkebunan misalnya, antara lain terlibat langsung dalam penyediaan lahan, penerapan teknologi budidaya yang dianjurkan dan menjual hasilnya keperusahan induk sebagai mitra kerja yang mengayomi dan memberikan modal usaha
  6. Lembaga adat mestinya bersikap independen. Tidak berafiliasi dengan partai politik, apalagi sampai menggunakan legitimasi jabatan adat untuk mengarahkan rakyat memilih calon tertentu.
****

Terkadang saya merenungi nasib bangsa kita, ketika membaca berita perkembangan pesat Negara-negara maju. Di saat mereka sudah melakukan pengayaan nuklir sebagai energi alternatif untuk menggantikan sumber daya alam yang kian menyusut tiap harinya. Sementara para bangsawan kita masih sibuk mengurusi perpecahan internal. Saling menjatuhkan satu sama lain, hanya untuk menjawab pertanyaan “siapa yang pantas mewarisi kursi pemimpin lembaga adat? “Siapa yang memiliki darah bangsawan yang lebih tinggi? 

Bagi saya, mereka yang tidak mampu membuka cakrawala berpikirnya untuk meneropong masa depan, adalah mereka yang tidak akan mampu memprediksi rintangan apa yang datang menghantam. Persaingan ketat di dunia Internasinal akan menjadi momok bagi mereka, hingga mereka ibarat ratusan rumah yang terbawa arus sunami yang hanya menyisakan puing-puing. Jika ingin bertahan, harusnya bangsawan-bangsawan kita di lembaga adat meyiapkan strategi-strategi jitu untuk menyongsong tantangan zaman, agar tidak terseret oleh tumpukan puing-puing akibat gerusan gelombang sunami globalisasi.

Makassar 13 Januari 2016

Bentor dan Daeng Itung

Bentor Daeng Itung
Daeng bentor, “teriak Ibu dengan melambaikan tangan kanan sembari melangkahkan kaki menuju pertigaan jalan Bonto Ramba Makassar. Sontak,  orang di depanku   lansung menyalakan bentornya untuk menjemput si Ibu, mau kemana-ki? “Tanya-nya, ke Hertasning, “jawab si Ibu sambil naik ke atas bentor. Mereka pun berangkat tanpa sempat menyepakati ongkos jasa untuk si tukang bentor.

Jika kalian melewati pertigaan depan kantor Jasa Sertifikasi PLN (perusahaan listrik negara), maka kalian akan melihat banyak becak yang bertenaga penggerak mesin di bagian belakang sebagai pengganti manusia. Orang di kota Makassar menyebutnya bentor dan profesinya di beri gelar tukang bentor atau daeng bentor. Dulu kata “daeng” hanya digunakan untuk memanggil orang yang lebih tua dari kita sebagai tanda penghormatan, entah kenapa sekarang dinisbahkan juga kepada tukang bentor dan tukang becak. (cikal bakal penyebutan daeng bentor berawal dari daeng becak). Bentor merupakan alat transportasi modifikasi, gabungan antara motor dan becak.

Setiap hari kerja aku selalu menyaksikan deretan bentor terparkir di bibir jalan Bonto Ramba, dan selalu kulihat wajah lelah pengemudinya ketika mereka sedang beristirahat sembari menunggu penumpang. Tuntutan sesuap nasilah yang menjadi pemicu semangat mereka  bekerja sebagai tukang bentor karena untuk memenuhi kebutuhan keluarga, "tutur daeng Itung yang lagi duduk di sebelahku.

Biasanya, saat matahari kembali menyapa di belahan timur bumi, daeng Itung sudah berada di pertigahan, mencari rezeki Tuhan yang diturunkan melalui perantara para penumpang. Ia baru pulang ke rumah saat jarum jam menunjuk angka sepuluh, bertepatan dengan kehadiran bulan yang telah menggantikan tugas matahari, begitulah rutinitasnya setiap hari.

Aku sering menyapa daeng Itung saat ia lagi tidak ada penumpang karena tepat depan kantorku tempat ia nongkrong. Biasanya trik yang aku gunakan untuk memulai percakapan dengan berpura-pura menanyakan sesuatu dan setelah itu aku akan menjadi pendengar setia kisah perjalanan hidupnya. Aku pasti terlarut ketika ia bertutur. Ku-dengar ‘ketika daeng Itung bercerita ia ibarat pak Raden yang bisa menyulap anak-anak usia pelajar sekolah dasar (SD) untuk larut dalam cerita dongengnya dan seolah-olah mereka hadir sebagai aktor yang memainkan peran narasi dongeng.

Tampaknya daeng Itung amat terbuka kepada orang lain tentang kepribadiannya. Aku curiga ia memikul banyak beban pikiran, jadi wajar ia begitu lepas berkisah tentang dirinya agar beban itu terasa ringan, yah bisa jadi seperti itu.

Beberapa tahun silang daeng Itung merantau ke kabupaten Pinrang selama tujuh belas tahun dan bekerja sebagai Paddaros (orang yang digaji untuk memanen padi) ia juga membawa beberapa keluarga/teman untuk tinggal di sana, saking lamanya ia sampai-sampai menikah dengan warga setempat.

Saat itu alat pemotong padi masih menggunakan Rakkapang dan kandao/sabit (alat pemotong padi tradisional)  "pungkas daeng Itung sambil menghisap rokok yang berada di selah-selah jarinya. Akan tetapi kehadiran mesin pemotong padi di Pinrang memaksa ia angkat kaki pulang ke Makassar dan kembali menjadi seorang penarik bentor. Karena dengan menggunakan mesin itu petani tidak membutuhkan banyak tenaga manusia lagi untuk memanen padi di sawah.

*****

Daeng Itung merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang terpinggirkan oleh deras laju modernisasi. Beberapa negara maju berhasil mengembangkan alat pertanian yang mengakibatkan berkurangnya lapangan pekerjaan. Meskipun di lain sisi hal itu berdampak positif terhadap perkembangan perekonomian akan tetapi toh Negara  kita hanya bisa mejadi konsumen tanpa bisa memproduksi sendiri mesin-mesin pertanian tersebut.

Ada yang bilang sih kapasitas SDM (sumber daya manusia) masyarakat kita tidak memadai, tapi menurutku ke-tidak mampuan itu disebabkan adanya kesengajaan dari pihak tertentu yang tidak ingin melihat bangasa kita maju dan mandiri, Entahlah. Yang pastinya secara tidak lansung daeng Itung adalah korban teknologi impor Negara kita.

*****

Aku pernah mendengar cerita seorang teman, katanya saat ini di kampung halamannya sangat marak terjadi pencurian dan perkelahian. Ia menganalisis penyebab melonjaknya tindakan kriminalisasi karena mesin telah menggantikan tenaga manusia untuk mengelolah lahan pertanian. Karena para aktor kriminal itu tidak lain adalah pengangguran yang telah di rampas lahan kerjanya oleh mesin-mesin kapital, Ironis yah.

Budaya gotong royong menanam dan memanen padi di kampung-kampung kini telah mengalami distorsi. Dulu kita masih bisa menyaksikan puluhan hingga ratusan orang di sawah yang sedang melakukan aktifitas pertanian dan mereka saling bahu membahu satu sama lain. Interaksi sosial juga terjalin begitu akrab di antara mereka. Tapi sekarang teknologi membuat sebagian dari mereka menjadi  pengangguran yang kemudian mengakibatkan maraknya premanisme seperti yang terjadi di kampung temanku.

Konsekuensi globalisasi membuat masyarakat desa mengalami gerak menuju kehidupan ala perkotaan, di mana kebanyakan orang lebih mementingkan individu dari pada kelompok. Aku sering melihat beberapa orang di Makassar yang sudah bertetangga puluhan tahun tapi sampai sekarang mereka tidak pernah saling menyapa.

Mereka menghabisakan waktu kerja di kantor masing-masing, setalah pulang ke rumah mereka hanya memanfaatkan untuk beristirahat. Rutinitas itu yang telah membentuk pola hidup mereka sehingga lupa menyisihkan waktu satu menit untuk bertanya siapa nama orang yang tinggal di sebelah rumahnya.

*****

Kembali ke daeng Itung. Hari aku kembali menyapa senyum daeng Itung, tampaknya ia lagi banyak rezki dan sibuk mengantar-jemput penumpang langganannya "Alahmduillah, bisik'ku dalam hati. Jadi aku hanya ngobrol dengan anak daeng Itung, aku tidak tau siapa namanya tapi biasa aku panggil dia “Bapak Aswar. Kebetulan Ia juga bekerja sebagai penarik bentor.

Awal tahun 2015 kemarin seorang cucu daeng itung juga sempat melakoni profesi yang sama tapi sekarang ia sudah beralih menjadi buruh bangunan. Pantas daeng Itung sangat menyayangi bentor karna bentor-lah yang selama ini menghidupi keluarga besarnya, mulai dari 5 orang anak sampai 14 cucu.

Seperti daeng Itung, Bapak Aswar juga senang berkisah, ia menceritakan pengalaman yang ia alami saat pesta demokrasi wali kota Makassar kemarin. Katanya, tukang bentor se-Makassar kompak memilih salah satu calon karena mereka di janji tidak akan melarang pengoperasian bentor di kota yang terkenal dengan kuliner coto dan pallubasa-nya itu.

Tidak susah untuk mengarahkan tukang bentor karna mereka memiliki asosiasi, jadi cukup memegang pemimpin mereka maka yang lain akan mengikut. Dari penuturan Bapak Aswar, selama ini mereka agak solid jika ada arahan dari ketua asosiasi.

Setiap menjelang sore keluarga daeng Itung selalu datang berkumpul menemani, aku melihat sifat humoris sebagai ciri khas keluarga daeng Itung. Suara tawa mereka begitu nyaring terdengar olehku saat berada di dalam kantor dan kemudian suara itu bermetamorfosa menjadi  magnet menggodaku untuk ikut berbagi canda bersama mereka.

Mereka tiap hari meramaikan pertigahan jalan Bonto Ramba, sampai-sampai aku hampir mengenal semua anak, menanantu, cucu daeng Itung. Satu hal yang membuat aku kagum, mereka tidak pernah mengeluh akan takdir hidup yang mereka jalani. Di kala kami sudah bersama berbagi canda-tawa mensyukuri penghasilan yang kami peroleh itu sudah sangat membuat kami bahagia "ucap daeng Itung kepadaku yang sedang bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Yaa Allah, semoga kebahagian daeng Itung bisa terpercik padaku agar aku salalu mensyukuri pemberianmu, “harapku dalam hati.


Makassar 6 Januari 2016

Halaman

Twitter

 
Support : http://sempugi.org/ | Your Link | Your Link
Copyright © 2014. Haeruddin Syams - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger