Pekan ini dengan adanya wabah covid19
kantor saya mengambil kebijakan Work From
Home (WFH). Di rumah, sembari menyelesaikan pekerjaan kantor, saya menyempatkan diri
untuk membaca buku Islamisasi kerajaan Gowa, oleh Prof. DR. Ahmad M.Sewang,
M.A. Dengan segala keterbatasan, saya hendak berbagi bacaan melalui tulisan
ini.
Naskah kuno suku Bugis-Makassar yaitu lontara, mencatat peristiwa bagaimana masuknya
agama Islam di beberapa kerajaan Sulawesi Selatan. Adapun naskah tersebut
adalah Lontara Bilang, Lontara
Pattorioloanga Togawaya, Lontara Pattorioloanga ri Totallo, dan Lontara Sukkuna
Wajo.
Mungkin masih ada lontara lain yang merekam penyebaran
Islam, tapi yang saya dapatkan sejauh ini hanya empat lontara di atas. Selain naskah
kuno kita juga bisa melacak proses islamisasi melalui prasasti-prasasti, cerita
tutur rakyat, benda-benda pusaka dan tempat-tempat bersejarah.
Tapi dikesempatan ini saya lebih
merujuk kepada naskah Lontara sebagaimana Prof. Ahmad menuliskan dalam bukunya. Agar
lebih mudah dipahami saya akan membagi tiga masa penyebaran agama Islam suku
Bugis-Makassar.
Masa Tiga Datuk
Di Awal abad XVII tiga orang mubalig,
Abdul Makmur, Sulaiman, dan Abdul Jawad dari Koto Tangah Minangkabau datang ke
tanah Sulawesi, mereka dikenal dengan tiga orang datuk, datuk tallua (Makassar) datuk
tellue (Bugis), yaitu Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, Datuk ri Tiro.
Mereka juga kadang dipanggil dengan
sapaan Khatib Tunggal, Khatib Sulung, dan Khatib Bungsu. Kedatangan tiga datuk
inilah kemudian dijadikan rujukan sebagian sejarawan sebagai awal penyebaran
agama Islam.
Penyebaran Islam oleh tiga Datuk di
mulai dari tanah Luwu hingga Raja Luwu La
Patiware Daeng Parabu masuk Islam pada hari jum’at 15 Ramadan 1013 H
bertepatan dengan 4 Februari 1605 M. Kemudian Raja Luwu diberi gelar
Sultan Muhammmad Waliy Muzahir al-Din.
Dari Luwu ketiga datuk
melanjutkan dakwah ke tanah Gowa atas usulan Raja Luwu. Berkata Raja Luwu “Alebbiremmani engka ri-Luwu, awatangeng
engka ri-Gowa” (Hanya kemuliaan saja yang ada di Luwu, sedangkan kekuatan
terdapat di Gowa).
Strategi dakwah ketiga Datuk dalam
proses mengislamkan di Sulawesi Selatan dengan cara menyebar satu sama lain.
Datuk ri Bandang di Gowa-Tallo, Datuk Patimang tetap tinggal di Luwu, sedangkan
Datuk ri Tiro bertugas di daerah Tiro Bulukumba.
Mereka melakukan penyiaran agama
Islam dengan cara yang berbeda sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Jadi tidak
heran kemudian jika kita menemukan budaya Bugis-Makassar yang terikat dengan ajaran
Islam, karena adanya akulturasi Islam dengan budaya lokal.
*****
Sehubungan dengan kepergiaan Datuk ri
Bandang ke Gowa-Tallo, tiba-tiba saya teringat cerita seorang kawan tentang
asal asul penamaan kota Makassar. Ini versi cerita rakyat yang dituturkan
secara turun-temurun. Alkisah, di pesisir pantai kerajaan Tallo telah berlabuh sebuah
kapal membawa seorang lelaki yang tidak dikenal.
Ia datang dengan menggunakan perahu
ajaib yang terbuat dari kulit kacang hijau. Saat tiba di pantai ia lansung
melaksanakan sembahyang. Kejadian itupun terekam dalam benak masyarakat
setempat hingga menjadi buah bibir.
Tak lama berselang cerita pun sampai
ditelinga Raja Tallo, I Malingkang Daeng
Manyonri Karaeng Katangka. Ia bersegera datang untuk menemui lelaki itu. Akan
tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang lelaki tua.
Mau kemana engkau dengan begitu
terburu-buru, “Tanya orang tua itu. Aku hendak menemui seorang lelaki yang
sedang hangat dicerita oleh rakyat ku, “jawab Raja Tallo. Mengetahuinya, orang
tua itu kemudian menuliskan sesuatu di atas ibu jari Raja Tallo untuk
diperlihatkan kepada lelaki yang hendak ditemuinya sembari menitipkan untuk
disampaikan salam.
Bertemulah Raja Tallo dengan lelaki itu,
sesaat setelah ia selesai menyampaikan salam kemudian lelaki itu menjawab
salamnya sambil mengatakan, “bahwa yang tertulis di ibu jarinya adalah surat
Al-Fatiha. Yah, Engkau telah bertemu dengan nabi Muhammad, Rasulullah SAW,
“tambahnya lagi.
Pertemuan Raja Tallo dengan
Rasulullah SAW disebut dalam bahasa Makassar, “Makkasara’mi Nabbi Muhammad ri buttaya ri Tallo” (Nabi Muhammad
SAW, menampakkan diri di Kerajaan Tallo). Nama itu kemudian menjadi awal
penyebutan Makassar.
Bagi saya cerita rakyat tentang asal
usul nama Makassar merupakan bukti bahwa kita memiliki budaya tutur yang sangat
kaya akan makna, yang penuh dengan teka-teki, jadi kita cuma butuh
mengabadikannya dalam sebuah tulisan dengan baik tanpa harus melakukan
penilaian benar atau salah, karena butuh kajian lebih jauh untuk memahami cerita
rakyat di atas yang tidak sempat dibahas dalam tulisan ini, intinya cerita itu
tidak akan bisa di pahami secara
tekstual.
Adapun peristiwa kedatangan tiga Datuk
tercatat dalam lontaraq Wajo yakni pada abad ke XVII. Jadi kalau merujuk pada
masa ini agama Islam masuk ke sendi-sendi kehidupan suku Bugis-Makassar
sekitaran tahun 1600-1700an.
Masa Islam Diterima Secara Resmi Oleh Kerajaan-Kerajaan
Jum’at 22 September 1605 M/ 09 Jumadil
Awal 1014 H. Raja Tallo Karaeng Matoaya
bersyahadat dan menerima agama Islam menjadi keyakinannya. Ia pun diberi gelar
Sultan Abdullah Awwalul Islam. Semasa dengan itu Raja Gowa Karaeng I Mangngarangi Daeng Manra’bia
pun memeluk agama Islam dengan gelar Sultan Alauddin. Kedua kerajaan inilah
yang kemudian akan mengambil peran besar dalam proses Islamisasi kerajaan-kerajaan
di Sulawesi Selatan.
Dua tahun berselang yakni 09 November
1607 M/ 19 Rajab 1016 H untuk pertama kalinya sholat jum’at dilaksanakan di
Tallo. Raja Sultan Alauddin pada saat itu juga menyampaikan keputusan dihadapan
para jamaah, bahwa kerajaan Gowa resmi menjadikan Islam sebagai agama kerajaan dan
sebagai pusat Islamisasi. Lembaga sarak
pun dibentuk dalam struktur kerajaan yang
dipimpin oleh Daeng Ta kaliya
(Makassar) Petta Kalie (Bugis).
Lembaga sarak berfungsi untuk mengatur masalah keagamaan dalam masyarakat
seperti nikah, talak-rujuk, warisan, zakat, serta pengurusan tempat ibadah. Bertanggung
jawab pula atas dakwah Islam di kalangan rakyat Gowa-Tallo guna memperdalam
ilmu keislaman.
Pemimpin lembaga sarak Daeng Ta kaliya dibantu
oleh pejabat di bawahnya, yaitu Daeng
Imang, Guruwa, Katte, Bidala, dan
Doja atau Jannang Masigi. Mereka
biasanya dipanggil sebagai pegawai sarak
(aparat keagamaan). Jadi semua kegiatan keagamaan seperti penentuan awal puasa,
Lebaran, sholat jumat, dan hari-hari besar Islam lainnya harus melalu Lembaga sarak.
*****
Penerimaan Islam oleh Gowa-Tallo
menjadi awal untuk menyebarkan Islam di kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, Raja
Gowa melalui politik Islamisasi menggunakan perjanjian yang dulu pernah disepakati
oleh beberapa kerajaan seperti, Bone, Soppeng, Wajo, Sawitto, Suppa, Alitta,
Sidenreng, Rappang dan kerajaan-kerajaan yang lain.
Adapun bunyi perjanjian tersebut,
‘’Barang siapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia harus memberitahukan
kepada raja-raja sekutunya’’.
Raja Sultan Alauddin pun mengirim
utusannya ke berbagai kerajaan untuk meyampaikan penerimaan Islam di kerajaan
Gowa, serta menyampaikan ajakan kepada para sekutunya untuk memeluk agama
Islam. Awalnya penyiaran agama Islam dilakukan secara damai, itulah kenapa
setiap utusan Raja Gowa membawa hadiah untuk diberikan kepada kerajaan
sekutunya.
Hadiah ini sebagai simbol
penghormatan Raja Gowa kepada para sejawatnya. Ada beberapa diantara Raja yang
menerima hadiah dan ajakan itu, maka Raja tersebut akan memberikan balik hadiah
kepada Raja Gowa sebagai tanda terima kasih.
Adapun kerajaan yang menolak maka
diselesaikan dengan peperangan. Dari situlah kemudian muncul istilah Musu Selleng (Bugis) atau Bundu’ Kasallanga (Makassar) yang
artinya adalah musuh Islam.
*****
Pernah seorang kawan berdiskusi
dengan saya, ia menyampaikan bahwa masyarakat di Wajo sudah mengenal Islam
sebelum Gowa datang membawanya. Hanya saja belum secara resmi diterima oleh
pihak kerajaan.
Bukan cuma di Wajo itu juga terjadi
di beberapa kerajaan lain. Ini merupakan bukti bahwa nyawa Islam sudah lama
hadir dalam sendi-sendi masyarakat dan mungkin saja proses dakwahnya secara
sembunyi-sembunyi. Jadi tidak heran ketika Islam begitu mudah diterima di kerajaan-kerajaan
Bugis Makassar.
Adapun peristiwa masuknya Islam Raja Gowa dan Tallo
tercatat dalam tiga lontaraq :
- Lontaraq Tallo : malam Jumát 09 Zulhijah 1025 H/ 20
September 1605 M
- Lontaraq Bilang : malam Jumát 09 Jumadi I 1015 H/ 22
September 1603 M
- Lontaraq Gowa : hari jumát 09 Jumadi I / 22 September
(tidak ada keterangan tahun)
Masa Perdagangan
Tahun 1513 M, Tome’ Pires mencatat dalam perjalanannya melaut dari Malaka ke laut
Jawa, bahwa dia telah menemukan orang-orang Makassar sebagai pelaut ulung. Ia
mengemukakan bahwa ‘’Orang-orang
Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, negeri Siam dan
juga semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam”.
Pada saat itu perdagangan masih dikendalikan
oleh pedagang Melayu Muslim, sebelum kedatangan orang-orang Eropa yang
memonopoli semua perdagangan di kawasan Asia Tenggara.
Catatan Pires bisa memberikan gambaran, bahwa interaksi orang-orang Makassar
sudah terjalin dengan pedagang Melayau Muslim di tahun 1500an. Itu berarti
sebelum kedatangan tida datuk.
Meskipun masa ini tidak termuat dalam
lontara tapi kita bisa mengambil
asumsi, bahwa bisa saja hubungan dagang antara orang-orang Makassar dengan
pedagang muslim mereka mempelajari agama Islam dan menjadikannya sebagai sebuah
keyakinan. Mungkin saja sudah ada pedagang Makassar yang sudah menjadi muslim
sebelum Kerajaan Gowa dan Tallo di terima secara resmi di tahun 1606 M.
Pada zaman Raja Gowa Tonipallangga (1546-1565 M) ia
memindahkan pusat pemerintahan dari Bonto
Biraeng ke Maccini Sombala yang
diberi nama Somba Opu. Ini karena
posisinya sangat strategis untuk jalur perdagangan, berada di muara sungai Jeneberang yang berhadapan lansung
dengan laut. Perpindahan ibu kota kerajaan ini pun sangat berdampak baik
terhadap perdangangan Gowa yang semakin berkembang.
Banyak pedagang Melayu Muslim yang berdatangan ke Gowa hingga diantara
mereka ada yang sampai bermukim. Melalui jalur perdagangan sebenarnya sudah
banyak masyarakat Bugis-Makassar menjalin interaksi dengan para pedagang Melayu
Muslim dan tidak menutup kemungkinan banyak diantara meraka yang sudah menjadi
Muslim sebelum kedatangan tiga datuk di abad ke XVII.
Analisa
Pertama, penafsiran catatan lontaraq tentang masuknya Islam Raja
Gowa-Tallo pada tahun 1605 M tidak bisa ditafsirkan sempit secara teks.
Pengenalan Islam tidak langsung serta merta mengucapkan dua kalimat syahadat
akan tetapi perlu dulu pemahaman tentang usuluddin (dasar-dasar ajaran Islam),
seperti ilmu Tauhid, Nubuwwah, hari akhir, qada dan qadar.
Untuk melakukan sholat Jum’at pertama
saja setelah ajaran Islam resmi diterima Kerajaan Gowa-Tallo nanti setelah dua
tahun kemudian yakni 1607 M.
Bagaimana dengan mengajarkan Usuluddin?
Mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk mendakwakannya agar bisa diterima sebagai
keyakinan dan sebagai konsekuensinya adalah masuk agama Islam dengan
mengucapkan dua kalimat syahadat.
Yang kedua, hubungan dagang
masyarakat Bugis-Makassar dengan pedagang Muslim Melayu sudah terjalin lama
jauh sebelum Islam dibawah oleh tiga datuk.
Meskipun tidak tertulis dalam lontara
tapi catatan Tome’ Pires bisa
dijadikan sebagai rujukan, bahwa interaksi itu pernah terjalin.
Kemungkinan adanya pedagang
Bugis-Makassar memeluk agama Islam bisa saja terjadi, hingga mereka pulang ke
kampung halaman dan memperkenalkannya dengan keluarga dan orang-orang terdekat
mereka, hanya saja kita perlu melacak data sejarah untuk menguatkan hal
tersebut.
Ketiga, saya pernah mendengar sebuah
diskursus yang menceritakan tentang Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini sudah
membawa agama Islam di tanah Bugis-Makassar tepatnya di Tosora Wajo pada tahun
1300an. Cuman saya belum menemukan data sejarah akan hal itu seperti yang
dijelaskan pada Lontara Bilang, Lontara
Pattorioloanga Togawaya, Lontara Pattorioloanga ri Totallo, dan Lontara Sukkuna
Wajo tentang sejarah masuknya Islam.